Tuesday, November 13, 2018

Pentingnya Pengendalian Kas

Kas dapat berupa uang logam, uang kertas, cek, wesel pos (kiriman uang lewat pos; money order), dan deposito. Prangko bukanlah kas melainkan biaya yang dibayar di muka (prepaid expense) atau beban yang ditangguhkan (defered expense). 

Kas terbagi atas dua; yaitu uang yang tersedia di kasir perusahaan (cash on and) dan uang yang tersimpan di bank (cas in bank).

Pada umumnya perusahaan tidak hanya memiliki satu rekening bank saja, akan tetapi biasanya perusahaan memiliki beberapa rekening bank sekaligus disaat bersamaan. Bebarapa rekening bank ini memeng secara khusus diperuntukkan untuk mengakodinir beberapa keperluan yang berbeda. Misalanya perusaan X memeiliki emapat rekening ank yang berbeda. Rekening bank yang pertama  secara kususs untuk menampung seluruh hasil penerimaan tagihan dari pelanggan; rekening bank yeng kedua disiapkan untuk keperluan memebayar utang kepa supplier; rekening bank yang ketiga digunakak untuk keperluan pembayaran gaji; dan rekening bank yang keempat digunakan secara kususs untuk keperluan pemabayaran slein gaji dan utang usaha.

Sisa uang kasa perusahaan yang tidak tersimpan di bank pada umumnya tersedia di kasir perusahaan untuk memenui pembayaran-pembayaran yang realatif kecil (sebagai dana kas kecil/pretty cash) dan juga untuk memenuhi keperluan pembayaran khusus.

Kas adalah set yang paling lancar dari yang lainnya. Sehingga kas sangat digemari untuk diselewengkan, dicuri dan dimanipulasi. 

Dalam siklus normal (operasi) perusahaan, kasa merupakan sesuatu yang krusila. Dengan kas yang dimiliki, perusahaan dapat memeli barang dari suplier; lalu menjaual kembali kepada pelanggan, yang sebagian besar dilakukan secara kredit, timbullah piutang usaha; piutang usaha ini lalau ditagih (dikonversi) menghasilkan kas; dan seterusnya dimana siklus akan berulang kembali.

Banyak sekali transkasi yang secara langsung ataupun tidaka langsaung dapat mempengaruhi penerimaan dan pengeluaran kas. Untuk mengamankan kas, pengendalian internal yang efektif atas kas mutlak diperlukan.

Bagaimana cara pengendalian internal kas ?  
Seagian besar penerimaan kas perusahaan tentu saja bersala dari hasil kegiatan normal bisnisnya, yaitu melalui penjualan tunai (baik untuk perusahaan dagang maupun perusahaan jasa), ataupun sebagi hasil penagihan piutang usaha dari pelanggan (dalam hal penjualan kredit). Sedangkan peneriman kas lainnya timbul dari kegiatan non-operasional perusahaan. Contoh peneriman kas non-operasional ini adalah seperti sewa, deviden, setoran pemilik, hasil pinjaman bank, hasil penjualan aset tetap yang tidak terpakai, hasil penerbitan dan penjualan saham, obligasi dan sebaginya.

Mengingat kas merupakan aset yang paling lancar, krusial dan mudah untuk diselewengkan, berikut ini beberapa prinsip pengendalian internal terhadap kas:
  1. hanya karywan tertentu saja yang secara khusus ditugaskan menangani penerimaan kas.
  2. adanya pemisahan tugas (segregation of duities) anatara individu yang menrima kas, mencatat/membukukan penerimaan kas, dan yang menimpan kas.
  3. setiap transkasi penerimaan kas harus didukung oleh dokumen (sebagai transakasi), seperti slip berita pembayaran (pengiriman) uang / remittanse advices (dalam kasus penerimaan uang lewat pos / mail receipts), sruk / cash register records (dalam kasus penerimaan uang lewat konter penjualan / counter receipts) dan salina ukti setor uang tunai ke bank (deposito slips). Seluruh uang kas harian yang diterima perusahaan dipegang oleh depatemen kasir (kepal kasir). Salinan lembar pertama dari ringkasan total penerimaan kas harian yang telah disiapkan oleh depatemen kasir diserahkan ke depatemen akuntansi; untuk selnjutnya oleh baian akuntansi akan dipergunakan sebagai dasar pencatatan transaksi ke dalam jurnal (tentu saja melewati proses analisis transaksi dan identifikasi akaun), lalu dibuatkan buku besar, dan seterusnya sesuai dengan tahapan-tahapan yang ada. Sedangkan salinan lembar kedua dari ringkasan tital penerimaan kas harian tadi yang telah dipersiapakan oleh departemen kasir diserahkan ke bagian keuangan. Dokumen asli yang memeuat ringkasan total penerimaan kas harian itu sendiri tetap akan disimpan di departemen kasir.
  4. Uang kas hasil peneriman penjualan harian atau hasil penagihan piutang dari pelanggan harus disetor ke ank setiap hari oleh departemen kasir. Departemen kasir akan mengisi formulir setoran bank dan kemudian menyetor uang kas tadi ke bank. Salinan bukti setor bank ini lalau akan diserahkan oleh depatemen kasir ke agian keuangan. Jika uang kas penerimaan penjualan harian atau hasil penagihan piutang tersebut tidak sempat disetor ke bank, maka simpanlah uang kas tadi dalam safe deposi box, dan hanya satu orang tertentu saja yang ditunjuk atau memiliki kode akses untuk membukanya; hal ini dilakukan untuk menghindari sikap saling menuduh atau memudahkan pertanggungjawaban langsung apaila terjadi kehilangan atas uang kas tersebut.
  5. Dilakukan pengecekan independen atau verifikasi internal. Misalnya saja dalam kasus penrimaan uang lewat konter penjualan, dimana biasanya seupervisor akan memverifikasi kebenaran atas jumlah penerimaan kas harian yang telah dihasilkan oleh operator mesin register kas dengan cara mencocokkan antaran total catatan register kas dengan total fisik verifikasi (mengecek) kebenaran atas jumlah penerimaan kas harian ini dengancara membandingkan anatara salinan lembar kedua dari ringkasan total penerimaan kas harian dengan salinan bukti setor bank.
  6. Mengikat karyawan yang menangani penerimaan kas dengan uang pertanggungan. 


Thursday, October 18, 2018

Urutan Nomor Akun (Chart Of Account) dalam Akuntansi

Sebenarnya cara membuat nomor akun sudah pernah saya ahas pada postingan sebelumnya. Namun di halaman facebook Acofy masih anyak yang bertanya tentang cara membuat urutan penomoran akun.
Maka saya mencoba membahas lagi tentang penomoran akun (chart of acount) atau COA.

Pada umumnya perusahaan dalam pengelompokan nomor akun adalah mulai dari akun-akun aset, lalu diikuti oleh akun-akun utang, ekuitas, pendapatan, dan beban.

Untuk akun-akun yang tergolong aset lancar urutannya selalu dimulai dari aset yang paling likuid (lancar). Dan biasanya dimulai dengan akun "kas", karena tidak akun yang lebih lancar daripada kas. Kemudian setelah itu diikuti oleh akun aset lancar lainnya seperti piutang, perlengkapan, asuransi diayar di muka dan lain. Ingat, bahwa untuk aset lancar penomoran akunnya berdasarkan  urutan tingkat likuiditas (lancar).

Sedangkan untuk akun aset tetap biasanya urutan penomoran akunnya berdasarkan yang memiliki umur ekonomis (masa manfaat) yang paling lama. Maka tidak heran "tanah"  di tempatkan terlebih dahulu seelum aset tetap berwujud lainnya. Baru setelah itu dikuti oleh akun aset tetap berwujud lainnya seperti bangunan, kendaraan, peraltan, dan sterusnya.

Penyusunan COA untuk utang biasanya dimulai dengan akun utang jangka pendek yang paling lancar, maka tidak heran biasanya dimulai dengan utang usaha sebelum akun utang jangka pendek lainnya. Lalu selah itu diikuti oleh akun utang jangka panjang.

Untuk akun Ekuitas sama halnya dengan akun utang biasanya dimulai dengan akun modal baru kemudian diikuti oleh akun prive (untuk perusahaan perseorangan).

Sedangkan untuk akun pendapatan urutannya berdasarkan yang paling sering digunakan. Maka tidak heran "pendapatan usaha" terleih dahulu urutannya di antara akun pendapatan lain. Karena pendapatan usaha berhubungan dengan operasional perusahaan (pendapan operasional perusahaan). Karena berhubungan dengan operasional maka akun pendapatan usaha menjadi akun yang paling sering digunakan d iantara akun pendaptan lain. Setelah itu baru diikuti oleh akun pendapatan lain seperti pendapatan sewa, pendapatan bunga, dan seterusnya.

Untuk akun beban urutan dalam penggunaan nomor akun berdasarkan pengeluaran-pengeluran yang peling besar. Maka akun "beban rupa-rupa (beban lain-lain)" menjadi uruan terakhir dalam penomoran akun. Karena pengelurannya relatif kecil dan jarang terjadi.

Berikut ini adalah contoh Chart of Account:
Urutan Nomor  Akun (Chart Of Account) dalam Akuntansi


Satu lagi yang perlu diingat bahwa sistem dalam penomoran akun harus fleksibel  (numbering flexile system). Makasudnya adalah bahwa nama akun yang baru dapat ditambah (disisipkan) tanpa meruah urutan nomor akun yang lain.
Contoh bisa dilihat pada gambar sebelumnya bahwa nomor akun piutang usaha 1.2 kemudian nomor akun perlengkapan kantor 1.4. Kalu dilihat disitu ada satu angka yng dilampaui yaitu angka 1.3. Hal ini betujuan kalau seandainya nanti ada penambahan akun baru yang lebih lancar dari perlengkapan kantor contohnya dalah piutang wesel, maka idak perlu untuk mengubah susunan urutan penomoran akun kembali. kita tinggal sisipkan saja piutang wesel  pada nomor akun 1.3.

Oke, demikianlah cara membuat urutan penomoran akun dalam akuntansi. Silahkan teman-teman berkomentar pada kolom komentar kalau sendainya ada yang mau ditanyakan atau mau request pembahsan tentang akuntansi.

Wednesday, October 17, 2018

Seberapa Pentingkah Pengendalian Internal ?


Pengendalian internal sangat diperlukan seiring perkembangan transakasi/bisnis di sebuah perusahaan/entitas. Pengendalian internal biasanya diikuti dengan kerealaan perusahaan untuk mengeluarkan beberapa tambahan biaya. Pengendalian internal biasanya dijumpai  dalam perusahaan kategori menengah ke atas.

Apa itu pengendalian internal ?
Pengendalian internal adalah seperangkat kebijakan atau prosedur untuk melindungi aset atau kekayaan dari segala bentuk tidakan penyalahgunaan, menjamin tersedianya informasi akuntansi perusahaan yang akurat, serta memastikan bahwa semua ketentuan (peraturan) hukum/undang-undang serta kebijakan manajemen telah terpenuhi atau dijalankan sebagaimana mestinya oleh karyawan perusahaan. Ynag dimaksud ketentuan disini adalah seperti, peraturan perpajakan, pasar modal, undang-undang anti korupsi dan lainnya. Selain itu pengendalian internal juga bertujuan untuk  memantau apakah kegiatan operasional maupun finansial telah berjalan sesuai dengan prosedur atau kebijakan yang telah ditetapkan oleh manajemen.

Dengan adanya penerapan pengendalian internal yang ketat maka diharapkan kegiatan operasional berjalan dengan lancar demi tercapainya maksimalisasi profit. Bukan hanya dari segi operasional saja, akan tetapi tetapi segi finasial juga akan termonitor dengan baik. Jika pengendalian internal tidak ditetapkan dengan baik maka kemungkinan besar (hampir dapat dipastikan) akan timbul inefisiensi (pemborosan sumber daya), yang pada khirnya kan memebebani tingkat profitabiliatas (keuntungan) perusahaan.

Tujuan pengendalian internal
1.      Agar aset/ kekayaan perusahaan terlindungin dengan baik dari penyelewengan, pencurian dan penyalahgunaan yang tidak sesuai dengan wewenangnya dan kepentingan suatu perusahaan.
2.      Informasi akuntansi perusahaan tersedia secara akurat dan dapat diandalkan. Sehingga memperkecil resiko salah saji, baik salah saji yang disengaja ataupun tidak disengaja.
3.      Karyawan menaati hukum atau peraturan yang berlaku.

Salah stu yang menjadi resiko yang paling besar dalam pengendalian internal adalah kecurangan karyawan (employee fraud), kecurang ini termasuk kecurangan yang disengaja dengan tujuan untuk kepentingan pribadi.

Hal-hal utama yang memerlukan pengendalian internal secara baik:
1.      Pengupahan dan penggajian
Hal ini bertujuan agar uang kas yang dikeluarkan memang untuk membayar karyawan yang sah dengan tarif upah/gaji yang berlaku dan jumlah jam kerja aktual karywan. Pengendalian ini juga bertujuan untuk menghindari karyawan yang fiktif.
2.      Pemesanan dan pembelian barang
Pengendalian internal ini bertujuan agar pemesanan dan pembelian barang berjalan sesuai prosedur. Barang yang dipesan dan dibeli sesuai dengan spesifikasi kebutuhanperusahaan serta telah mendapat otorisasi (persetujuan) yang layak dari pejabat yang berwenang termasuk tersedianya secara lengakapdokumen pendukungtransaksi. Pengendalain internal ini juga bertujuan untuk menghindari penggelapan/penyelewengan oleh oknum karywan tertentu atas besarnya potongan pembelian yang diperoleh dar suplier.
3.      Pengiriman dan penjualan
Pengendalian ini bertujuan untuk mestikan bahwa barang yang dipesan pelanggan telah sesuai dengan spesifikasi dan prosedur yang ditetapkan, termasuk tersedia secara lengkap dokumen pendukung transakasi dan mendapat otorisasi dari pihak yang berwenang. Selain itu pengendalian ini juga bertujuan agar tidak terjadinya penjualan fiktif.
4.      Penerimaan dan pembayaran kas
Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa kas yang diterima perusahaan dengan baik/semestinya, serta memastikan pengeluaran kas hanya untuk membayar beban perusahaan yang telah diotorisasai pejabat yang berwenang dan untuk menghindari pembayaran berganda.
5.      Penyimpanan barang dagang di gudang
Pengendalian ini bertujuan untuk memastikan bahwa persedian barang dagang telah tersimpan aman di gudang.
6.      Penanganan atas aset tetap
Hal ini bertujuan agar aset tetap yang dimiliki oleh perusahaan telah digunakan sebagaimana mestinya dan hanya untuk menunjang kegiatan operasional perusahaan.

Prinsip-prinsip pengendalian internal
Untuk mengamankan aset dan meningkatkan keakuratan serta keandalan catatan (informasi) akuntansi, perusahaan biasanya akan menerapkan 5 (lima) prinsip pengendalian internal tertentu.
1.      Penetapan tanggung jawab
Sesungguhnya, karakteristik yang paling utama dar pengendalian internal adalah penetapan tanggung jawab ke masing-masing karyawan secara spesifik. Penetapan tanggung jawa di sini agar karyawan dapat ekerja sesuai dengan tugas-tugas tertentu yang telah dipercayakan kepada merek. Pengendalian atas pekerjaan tentu akan leih efektif apabila telah ada spesifikasi pekerjaan yang telah dibagikan kepada masing-masing karyawan.

Seagai contoh, salah satu cara mengamankan uang kas perusahaan adalah dengan menyetor uang kas hasil kegiatan operasional perusahaan secara harian ke ank, dan jika tidak sempat menyetor maka uang kas terseut haruslah di simpan dalam seuah lemari (brangkas) besi/baja. Dalam hal ini, perusahaan secara spesifik harus menetapakan tugas penyimpanan uang kas ke dalam brangkas hanya kepada satu orang tertentu saja, dimana hanya orang inilah yang nanti mempunyai kode akses untuk membuka brangkas tempat penyimpanan uang kas tersebut. Jadi, jika seandainya terjadi pencurian atau kehilangan uang kas maka perusahan dapat dengan segera meminta pertanggung jawaan dari satu orang terseut. Namun, apabila tugas penyimpanan unag kas terseut di berikan kepada dua atau beberapa orang maka perusahaan akan susah untuk meminta pertanggungjawaban dan melacak jika terjadi pencurian atas uang kas terseut.

2.      Pemisahan tugas
Pemisahan tugas disini adalah pemagian fungsi atau pembagian kerja.Ada 2 bentuk paling umum dari penerapan prinsip pemisahan tugas ini, yaitu:
a.       Pekerjaan yang berbeda seharusnya dikerjakan oleh karyawan yang berbeda pula
b.      Harus adanya pemisahan tugas antara karywan yang menangani pekerjaan pencatatan aset dengan karywan yang menangani langsung aset secara fisik (operasional)
Kenapa pemisahan tugas harus dilakukan?  
Karena biasanya jika seorang karyawan menangani/bertanggungjawa atas seluruh pekerjaan maka potensi munculnya kecurangan atau kesalahan akan meningkat. Maka akan sangat penting jika suatu pekerjaan ditangani oleh karywan yang berbeda pula.
Sebagai contoh yang sering terjadi dan harus diwaspadai adalah dalam aktivitas pembelian atau pengadaan barang. Aktivitas pemelian barang terdiri dari pemesanan, penerimaan dan pembayaran. Seharusnya untuk menjamin pengendalian internal yang baik dari aktivitas pembelian, maka masing-masing unsur dari aktivitas pembelian ini harus ditangani secara terpisah oleh masing-masing karywan yang berbeda. Jika unsur pembelian barang hanya ditangani oleh satu orang saja, maka kemungkinan resiko akan kecurangan tagihan palsu (fictitious invoices) akan muncul di sini.

Pemisahan tugas dan wewenag juga perlu diterpakan dalam aktivitas penjualan barang dagangan. Aktivitas penjualan barang dagang meliputi penjualan, pengiriman barang dagang ke pelanggan, pengihan dan penerimaan pembayaran. Jika masing-masing unsur penjualan barang dagang tersebut ditangani oleh satu orang saja maka resiko kecurangan akan meningkat pada kegiatan penjulan barang dagang. Contoh kecurang yang terjadi adalah penggelapan uang kas oleh penerimaan pembayaran (lapping) dan resiko lainnya seperti:
a.       Adanya karywan bagian penjualan yang berusaha untuk menjual barang dengan haraga yang lebih tinggi, dan mengambil keleihan selisih harga jualnya untuk kepentingan pribadi.
b.      Barang yang sesungguhnya tidak terjula akan tetapi dibuat laporan terjual dengan mengirim barang ke diri sendiri atau kekerabat dekat kenalannnya. Penjaulan ini dnamakan penjualan fiktif (fictitious salaes) yang tujuan kahirnya adalah untuk memperbesar komisi kahir tahun.   Lalu jika komisi akhir tahun telah dierima, lalu di awal tahun erikutnya arang tersebut dikembalikan lagi dengan seolah-olah telah terjadi retur penjulan dari pelanggan.

Dokumentasi Masih banyak lagi bentuk kecurangan yang bisa terjadi jika kegiatan opersaional perusahaan dipegang oleh satu orang.

3.      Dokumentasi
Dokumen tasi sangat penting sebagi ukti bahwa transaksi bisnis atau peristiwa ekonomi telah terjadi. Sehingga kecurangan-kecurangan bisa di minimalisir dan dideteksi.

4.      Pengendalian fisik, mekanik, dan elektronik
Berikut ini contoh dari penggunaan pengendalian fisik, mekanik dan elektronik:
a.       Uang kas dan surat-surat berharag sebaiknya di simpan dalam safe deposite box.
b.      Catatan akuntansi yang penting juga harus disimpan dalam filling cabinet yang terkunci.
c.       Tidak semua atau karyawan dapat sembarang masuk dan keluar gudang tempat penyimpanan barang dagang.
d.      Penggunaan kamera dan televisi monitor
e.       Adanya sistem pemedam kebakaran atau alarm yang memadai
f.       Penggunaan pasword system, dan lain sebagainya

5.      Pengecekan independen atau verifikasi internal
Kebanyakan sistem pengendalian internal memberikan pengecekan independen atau verifikasi inernal. Prinsip ini meliputi peninjauan ulang, perbandingan, pencocokan data yang telah disiapkan karywan lainnya yang berbeda untuk memperoleh manfaat yang maksimum dai pengecekan indep[enden dar verifikasi internal, maka:
a.          Verifikasi harus dilakukan secara periodik/berkala atau bisa juga dadakan
b.         Verifikasi hendaknya dilakukan oleh orang yang independen,
c.         Ketikcocokan dan kekecualian yang memang dapat mengambil tindakan korektif secara tepat.

Keterbatasan Pengendalian Internal
Sistem pengendalian internal perusahaan biasanya dirancang untuk memberikan jaminan yang memadai bahwa aset perusahaan telah diamankan secara tepat dan bahwa catatan akuntansi dapat diandalkan. Terkadang ukuran perusahaan juga dapat memicu keterbatasn pengendalian internal. Dalam perusahaan yang sangat kecil mungkin akan sangat sulit dalam menerapakan pemisahan tugas atau memberikan pengecekan independen/verifikasi internal, mengingat satu karywana mungkin saja dapat merangkap beberapa pekerjaan yang berbeda sekaligus.

Monday, October 15, 2018

Penggunaan Neraca Lajur dan Pembahasannya

Penggunaan Neraca Lajur dan Pembahasannya

Akuntan seringkali menggunakan kertas kerja(work sheet) berupa neraca lajur untuk mengumpulkan dan meringkas data yang mereka butuhkan dalam rangka menyiapkan laporan keuangan, Kertas kerja ini berbentuk multi kolom, yang memuat kolom neraca saldo sebelum penyesuaian, kolom penyesuaian, kolom neraca saldo setelah penyesuaian, kolom laba rugi, dan kolom neraca.

Fungsi kertas kerja ini hanya sebagai alat bantu untuk mempermudah proses penyusunan laporan keuangan yang dilakukan secara manual. Kertas kerja juga sesungguhnya berguna sebagai alat bantu untuk memahami alur data akuntansi, mulai dari neraca saldo sebelum penyesuaian hingga menghasilkan laporan keuangan sebagai produk akhir dari siklus akuntansi. Sebagai alat bantu (pilihan), kertas kerja ini merupakan catatan akuntansi yang sifatnya tidak permanen oleh sebab itu tidak termasuk sebagai bagian dari catatan akuntansi formal lainnya, seperti jurnal dan buku besar yang memang dibutuhkan sebagai bagian dari sistem akuntansi. Sifatnya yang bukan merupakan bagian yang formal dari tahapan siklus akuntansi tampak dari bagan arus yang telah digambarkan di atas, dimana kertas kerja ini berada di luar alur tahapan siklus akuntansi.

Kertas kerja menjadi tidak diperlukan terutama bagi perusahaan yang sudah memiliki sistem komputerisasi akuntansi yang baik dan memadai. Kertas kerja ini juga tidak diperlukan lagi dalam perusahaan kecil yang dimana hanya memiliki sedikit transaksi, sedikit akun, dan sedikit penyesuaian. Pada perusahaan kecil, laporan keuangan dapat disiapkan langsung dari neraca saldo setelah penyesuaian tanpa menggunakan alat bantu neraca lajur sebagai kertas kerja.

Adapun urutan tahapan dalam menyiapkan kertas kerja adalah sebagai berikut:
1.      Menyiapkan neraca saldo sebelum penyesuaian (un-adjusted trial balance) ke dalam kertas kerja. Hal ini dilakukan dengan cara memindahkan (to list) seluruh saldo akhir yang terdapat pada masing-masing buku besar akun (saldo akhir sebelum penyesuaian) ke dalam kolom neraca saldo sebelum penyesuaian yang ada dalam kertas kerja.
2.      Memasukkan data jurnal penyesuaian ke kolom penyesuaian yang ada dalam kertas kerja. Hal ini dilakukan dengan cara memindahkan besarnya tiap-tiap nilai penyesuaian akun yang ada dalam ayat jurnal penyesuaian ke dalam kolom penyesuaian sesuai dengan posisi nilai debet dan kredit masing-masing akun. Jika nama akun yang digunakan dalam ayat jurnal penyesuaian ternyata belum terdapat dalam neraca saldo (yang telah disiapkan pada tahapan pertama di atas), maka tambahan akun baru tersebut akan disisipkan tepat di bawah total jumlah neraca saldo.
3.      Memasukkan saldo yang telah disesuaikan ke dalam kolom neraca saldo setelah penyesuaian (adjusted trial balance) yang ada dalam kertas kerja. Kolom neraca saldo setelah penyesuaian ini merupakan hasil gabungan antara data yang terdapat dalam kolom neraca saldo sebelum penyesuaian dengan data yang ada dalam kolom penyesuaian.
4.      Memindahkan tiap saldo masing-masing akun yang ada dalam kolom neraca saldo setelah penyesuaian ke dalam kolom laporan keuangan. Hal ini dilakukan dengan cara memilah-milah secara tepat, akun mana yang akan ditransfer ke dalam kolom laba rugi dan juga akun mana yang akan ditransfer ke dalam kolom neraca. Sebagai contoh, saldo akun kas yang ada dalam kolom neraca saldo setelah penyesuaian akan ditransfer ke kolom neraca dengan saldo debet, saldo akun utang usaha yang ada dalam kolom neraca saldo setelah penyesuaian akan ditransfer ke kolom neraca dengan saldo kredit, saldo akun pendapatan yang ada dalam kolom neraca saldo setelah penyesuaian akan ditransfer ke kolom laba rugi dengan saldo kredit, saldo akun beban yang ada dalam kolom neraca saldo setelah penyesuaian akan ditransfer ke kolom laba rugi dengan saldo debet, dan seterusnya. Saldo at dalam kolom laba rugi dan kolom neraca iniya akan dipakai dalam menyusun laporan keuanakun yang terdapat dalam kolom laba rug lah yang nantinya akan dipakai dalam mergan.  
5.      Untuk masing-masing kolom (baik masing-masing kolom (baik kolom laba rugi maupun kolom neraca), hitunglah total saldo debet dan total saldo kredit dengan cara menjumlahkan seluruh saldo akun dari atas sampai ke bawah sesuai dengan saldo akun yang ada pada masing-masing kolom. Besarnya selisih antara total saldo debet dengan total saldo kredit untuk kolom laba rugi harus sama dengan besarnya selisih antara total saldo debet dengan total saldo kredit untuk kolom neraca, hanya saja posisi untuk masing-masing selisih tersebut akan saling berlawanan antara kolom laba rugi dengan kolom neraca. Artinya, jika posisi selisih antara total saldo debet dengan total saldo kredit untuk kolom laba rugi berada di sebelah debet, maka posisi selisih antara total saldo debet dengan total saldo kredit untuk kolom neraca akan berada di sebelah kredit, dengan besarnya selisih yang sama.

Sebagai contoh : untuk kolom/lajur laba rugi dengan total saldo debet Rp. 30.000.000,- dan total saldo kredit Rp. 40.000.000,akan memiliki posisi selisih di sebelah debet, yaitu sebesar Rp. 10.000.000,-. Sedangkan untuk kolom/lajur neraca dengan total saldo debet Rp. 85.000.000,- dan total saldo kredit Rp. 75.000.000,- akan memiliki posisi selisih di sebelah kredit, yaitu sebesar Rp. 10.000.000,- juga. Perhatikanlah bahwa besarnya selisih tersebut masing-masing memiliki nilai yang sama yaitu Rp. 10.000.000,- baik untuk selisih antara debet kredit pada kolom laba rugi maupun untuk selisih antara debet kredit pada kolom neraca, hanya saja posisi selisih tersebut masing-masing saling berlawanan. Besarnya laba bersih (net income) atau rugi bersih (net loss) ditentukan dengan cara membandingkan antara total saldo debet dengan total saldo kredit yang ada pada laba rugi. Jika total saldo kredit untuk kolom laba rugi melebihi total saldo debet untuk kolom laba rugi, maka akan menghasilkan laba bersih, dan sebaliknya jika total saldo debet untuk kolom laba rugi melebihi total saldo kredit untuk kolom laba rugi, maka akan menghasilkan rugi bersih.

Wednesday, October 10, 2018

Sistem Pencatatan Perpetual dan Periodik dalam Akuntansi Beserta Contoh Lengkap

Sistem Pencatatan Perpetual dan Periodik dalam Akuntansi


Sebelumnya kita telah membahas  tentang karakteristik perusahaan dagang. Dimana perusahaan dagang mempunyai barang persedian. Terdapat metode akauntansi yang lazim dipakai dalam mencatat persediaan barang dagangan, yaitu metode atau sistem pencatatan perpetual (perpetual inventory system) dan metode atau sitem pencatatan periodik/fisik (periodic/phisichal inventory system)

Kali ini akan dibahas secara tuntas perbedaan sistem pencatatan perpetual dan periodik beserta contohnya.

SISTEM PENCATATAN PERPETUAL
Dalam sistem pencattan perpeual, catatan mengenai harga pokok dan masing-masing barang dagangan yang dibeli maupun yang dijual diselenggarakan secara terperinci. Sistem pencattan ini akan secara terus-menerus menunjukkan berapa besarnya salado persedian barang dagangan yang ada di gudang untuk masing-masing jenis persediaan. Dengan sistem pencatatan perpetual, harga pokok dari barang ditentukan tiap kali penjualan terjadi. Yang perlu diperhatikan dalam mencatat transaksi barang dagangan dengan metode perpetual  ini adalah bahwa akun pembelian, retur pembelian, potongan pembelian dan akun ongkos angkut masuk tidak akan pernah digunakan. seluruh akun-akun tersebut akan diganti dengan akun persediaan barang dagangan.

SISTEM PENCATATAN PERIODIK
Dengan sistem periodik, pembelian barang dagangan akan dicatat dengan menggunakan akun pembelian bukan akun persediaan barang dagangan seperti yang dilakukan pada sistem pencatatan perpetual. Juga dengan sisem periodik, akun-akun berikut ini secara terpisah (masing-masing) akan digunakan : potongan pembelian, retur pembeliaan dan penyesuaian harga beli, dan ongkos angkut masuk.

Ingat, bahwa point yang membedakan anatar sitem pencatatan periodik dengan sistim pencattan perpetual adalah terletak pada komponen penentu haraga pokok penjualan, dimana pada sistem pencatatan perpetual tidaklah mengenal akun, pembelian, potongan pembelian, retur pembeliaan dan penyesuaian harga beli, termasauk akun ongkos angkut masuk.

Dalam sistem periodik maupun perpetual tidak ada perbedaan dalam hal pencatatan atas akun ongkos angkut keluar dan potongan penjualan; hal ini dikarenakan ongkos angkut keluar dan potongan penjualan bukanlah merupakan komponen dalam menghitung besaranya haraga pokok penjualan. Demikian juga untuk akun retur penjualan,  dan penyesuaian harga jual yang sama-sama akan tetap digunakan baik dalam sistem pencatatan periodik  maupu perpetual, hanya saj bedanya bahwa dalam sistempencatatan pepetual, jurnal untuk mencatat transakasi retur penjualan akan diikuti dengan satu ayat jurnal lagi yaitu untuk mencatatan pengurangan haraga pokok penjualan di sebelah kredit dan menambah kembali saldo akun persediaan barang dagangan yang diterimanya di sebelah debet.

Jadi, bentuk perbedaan sistem pencatatan perpetual dan periodik dapat dilihat pada tabel berikut:
Sistem Pencatatan Perpetual dan Periodik dalam Akuntansi Beserta Contoh Lengkap
Keterangan
BD = Barang Dagang

Khusus sistem pencatatan ongkos angkut juga mempunya dua metode yaitu FOB Shipping Point dan FOB Destination maka dalam contoh jurnal diatas juga 2 buah masing-masing metode pencatatan persediaan

Untuk pencatatan retur juga dilakukan 2 metode untuk masing-masing pencatatan BD, yaitu apabila penjual mau menerima kembali BD, atau dengan pengurangan harga jual..

Untuk potongan penjual juga dalam contoh untuk masing-masing metode pencatatan barang dagang juga dibuat 2 metode yaitu, jika dalam masa periode potongan dan jika telah lewat periode potongan.

Saya rasa cukup sekian kalau ada yang mau ditanyakan, atau didiskusikan silahkan koment di kolom komentar. Saya akan mencoba untuk mengapresiasi masing masing pertanyaan teman-teman.

Tuesday, October 9, 2018

Sejarah Perkembangan Standar Akuntansi di Indonesia Lengkap


Perkembangan standar akuntansi di Indonesia dapat dibagi ke dalam lima periode penting. Periode pertama adalah masa Pra-PAI sebelum tahun 1973 kemudian disusul dengan penyusunan PAI tahun 1973-1984. Periode ketiga yakni tahun 1984-1994 adalah masa berlakunya PAI 1984. Periode keempat adalah masa mulai dilakukannya harmonisasi SAK ke IASyakni tahun 1994-2006 di mana SAK dikembangkan dengan melihat referensi IAS maupun standar-standar, negara lain. Periode kelima adalah masa konvergensi IFRS yakni 2006-2012.

Masa Pra-PAI (Sebelum 1973) 
Sebelum 1973, Indonesia tidak mempunyai standar akuntansi keuangan yang baku dan terkodifikasi. Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing pada tahun 1967 dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri pada tahun 1968, penggunaan laporan keuangan oleh pihak di luar manajemen jarang sekali terjadi, kecuali untuk pelaporan fiskal. Audit tahunan lazimnya hanya dilakukan atas laporan keuangan BUMN/BUMD dan perusahaan asing yang sangat sedikit jumlahnya.

Dengan berlakunya kedua peraturan perundangan tentang penanaman modal tersebut mulai timbul kebutuhan laporan keuangan yang mampu menyajikan informasi keuangan yang relevan, andal, dapat dimengerti, serta dapat diperbandingkan (baca karakteristik laporan keuangan). Kebutuhan tersebut terutama sehubungan dengan permohonan kredit investasi dari bank pemerintah dan ventura bersama dengan investor asing. Pada waktu itu bukan saja standar akuntansi keuangan, tapi juga standar audit belum terkodifikasi, sehingga baik laporan keuangan maupun laporan audit menjadi tidak mengenal standar pelaporan dan sering kali sulit diperbandingkan.

Meskipun opini auditor menyebutkan "laporan keuangan telah disajikan secara wajar berdasarkan prinsip akuntansi yang lazim berlaku”, sering kali timbul keraguan apa yang disebut sebagai "prinsip akuntansi yang lazim berlaku”. Di samping belum adanya standar yang tertulis, keraguan dan kerancuan juga disebabkan karena jumlah akuntan masih sangat sedikit, dan para praktisi yaitu tenaga akuntansi di perusahaan dan asisten auditor di kantor akuntan publik, pada umumnya adalah lulusan SMA dan terutama yang berijazah Bond A dan sebagian kecil Bond B. Untungnya pada masa itu keadaan bisnis masih baru berkembang dan tidak sekompleks sekarang.

Lahirnya PAI 1974 (1973–1984) 
Dalam rangka persiapan diaktifkannya pasar modal, maka atas bantuan dan dorongan Badan Persiapan Pasar Uang dan Pasar Modal (BAPEPUM) telah dibentuk Panitia Penghimpun Bahan-bahan dan Struktur daripada Generally Accepted Accounting Principles dan Generally Accepted Auditing Standards yang terdiri dari Dewan Penasihat dan Panitia Kerja. Dengan demikian diharapkan dapat secepatnya tersusun standar akuntansi dan standar audit

Sebagai hasil kerja Panitia Penghimpun tersebut maka lahirlah Prinsip Akuntansi Indonesia (PAI) dan Norma Pemeriksaan Akuntan (NPA). Kedua produk tersebut kemudian mendapat pengesahaan pada Kongres III IAI pada tanggal 2 Desember 1973, dan untuk pertama kali dibentuk Komite PAI dan Komite NPA untuk mengembangkan baik PAI maupun NPA.

PAI tersebut disusun berdasarkan buku Inventory of Generally Accepted Accounting Principles for Business Enterprisesdari Paul Grady diterbitkan oleh AICPA sebagai sumber utama. Di samping itu, sebagai bahan himpunan telah digunakan juga:
  • Buku Prinsip-prinsip Akuntansi yang diterbitkan oleh Direktorat Akuntan Negara,Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara; 
  • Statement of the Accounting Principles Board, No. 4, diterbitkan oleh AICPA;
  • Opinions of the Accounting Principles Board, diterbitkan oleh AICPA; 
  • Kumpulan dari Accounting Research Bulletin, diterbitkan oleh AICPA; 
  • A Statement of Australian Accounting Principles, diterbitkan oleh Accounting and Auditing Research Committee dari Accountancy Research Foundation; 
  • Wet op de Jaarrekening van Ondernemingen, diterbitkan oleh NIVRA; 
  • dan beberapa literatur lainnya.

Dapat disimpulkan, pada tahun 1973 Indonesia memulai perkembangan standar akuntansi dengan dibentuknya suatu komite sementara yang dibentuk untuk mengumpulkan dan menyusun prinsip-prinsip akuntansi yang diterima umum di Indonesia. PAI kemudian menjadi suatu infrastruktur pelaporan untuk mendukung pasar modal yang baru berkembang di Indonesia sebagai upaya penting pemerintah untuk meningkatkan arus dana masuk ke Indonesia. Komite berpedoman pada karya Paul Grady dari AICPA di AS. Standar ini tidak berkembang hingga tahun 1984. Dari satu sisi hal ini dapat dimengerti karena jumlah perusahaan yang terdaftar di pasar modal kurang dari dua puluh lima.

Masa Penerapan PAI 1984 (1984-1994)
Tonggak sejarah kedua terjadi pada tahun 1984. Pada masa itu, komite PAI melakukan revisi secara mendasar PAI 1973 dan kemudian menerbitkan Prinsip Akuntansi Indonesia 1984 (PAI 1984). Tujuan dari PAI 1984 ini adalah untuk menyesuaikan ketentuan akuntansi dengan perkembangan dunia usaha. Sejak tahun 1986, Komite PAI secara aktif melakukan revisi atas PAI 1984 dengan menerbitkan 7 (tujuh) Pernyataan PAI dan 9 (sembilan) Interpretasi PAI.

Masa Penerapan SAK (1994–2006)
Selama tahun 1984–1994 telah terjadi berbagai fenomena penting dalam perekonomian dan bisnis nasional dan global, antara lain sebagai berikut. 
  • Perkembangan pasar modal di Indonesia yang sangat pesat. Jumlah perusahaan go public melonjak dari 24 pada awal tahun 1989 menjadi sekitar 160 pada September 1994. 
  •  Disahkannya Undang-Undang Perbankan dan Undang-Undang Dana Pensiun. 
  • Reformasi peraturan perundangan perpajakan Indonesia. 
  • Timbulnya beberapa kasus bank krisis dan isu tentang kredit macet dan kredit bermasalah.
  • Ditandatanganinya perjanjian baru GATT sebagai kelanjutan Uruguay Round.

Dari beberapa fenomena tersebut, dapat disimpulkan bahwa dunia sedang memasuki era globalisasi dan Indonesia mulai masuk dalam perdagangan global tersebut. IAI secara tanggap telah memantau fenomena tersebut dengan melakukan serangkaian seminar, diskusi, dan rapat untuk membuat Strategi Pengembangan IAI 1994–2000 dan salah satu kesimpulan yang diambil adalah PAI harus segera dikembangkan dengan mengacu pada International Accounting Standard.

Sejalan dengan hal tersebut, nama PAI telah diganti menjadi Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Menjelang Kongres VII IAI, dan menyongsong HUT IAI ke-34 pada bulan Desember 1994, profesi akuntan di Indonesia telah memiliki Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan dan 35 Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan yang setaraf standar akuntansi internasional. Sejak tahun 1994, telah menjadi kebijakan dari Komite Standar Akuntansi Keuangan untuk mengguna
Standards sebagai dasar untuk membangun standar-standar Indonesia. IAI kemudian melakukan revisi besar untuk menerapkan standar-standar revisi besar untuk menerapkan standar-standar akuntansi baru, ebanyakan konsisten dengan IAS. Namun, masih terdapat beberapa standar akuntansi yang diadopsi dari US GAAP dan maupun dikembangkan sendiri-sendiri.

Sejak tahun 2004, revisi SAK dilakukan pada tahun 2008 dan juga IAI mengeluarkan revisi 2009.

Masa Konvergensi IFRS (2006-2012) 
Dengan memperhatikan semakin maraknya negara-negara lain seperti Australia mengadopsi IFRS secara penuh, maka pada tahun 2006 dalam kongres IAIX di Jakarta ditetapkan bahwa konvergensi penuh IFRS akan diselesaikan pada tahun 2008. Target ketika itu adalah taat penuh dengan semua standar IFRS pada tahun 2008. Namun dalam perjalanannya ternyata tidak mudah. Sampai akhir tahun 2008 jumlah IFRS yang diadopsi baru mencapai 10 standar IFRS dari total 33 standar.

Beberapa kendala dalam harmonisasi PSAK ke dalam IFRS antara lain adalah minimnya sumber daya untuk mendukung anggota DSAK-IAI yang semua anggotanya adalah paruh waktu bekerja untuk pengembangan standar pelaporan. Kendala lainnya adalah IFRS yang sangat cepat berubah sehingga DSAK-IAI sulit untuk mengejarnya. Masalah translasi bahasa juga menjadi kendala karena dalam proses translasi tidak mudah untuk mencari padanan kata yang tepat dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Indonesia membutuhkan upaya tambahan dalam mengadopsi IFRS dibandingkan dengan negara-negara yang menggunakan IFRS dalam bahasa aslinya seperti Australia atau negara-negara Eropa.

Kesiapan pelaku industri juga menjadi pertanyaan. Ketidaksiapan industri keuangan khususnya perbankan dalam mengadopsi standar akuntansi instrumen keuangan PSAK 50 dan PSAK 55 membuat banyak pihak meragukan apakah Indonesia siap dalam mengadopsi IFRS. PSAK 50 dan PSAK 55 adalah standar akuntansi instrumen keuangan yang diadopsi dari IAS 32 dan IAS 39 yang sedianya berlaku efektif mulai 1 Januari 2009 dengan terpaksa diundur menjadi 1 Januari 2010 akibat desakan dari pelaku industri yang belum siap menerapkannya kala itu.

Bukan hanya penyusun laporan keuangan yang harus berbenah, kesiapan profesi lain seperti aktuaris dan jasa penilai juga menjadi sorotan. Dimulai dari berlakunya PSAK 24 Imbalan Kerja tahun 2004 yang menganjurkan penggunaan jasa aktuaris independen, standar baru ini cukup mengagetkan profesi aktuaris pada saat itu yang tiba-tiba saja kebanjiran pelanggan. Profesi lainnya seperti jasa penilai properti juga terkena dampak dari peningkatan penggunaan nilai wajar dalam standar akuntansi mengenai aset tetap dan properti investasi yang dikeluarkan pada tahun 2008.

Namun, terlepas dari segala kendala yang menghadang, DSAK-IAI semakin mengukuhkan niatnya untuk mengadopsi IFRS karena memang IFRS memiliki banyak kelebihan.
  • IFRS dihasilkan oleh suatu lembaga internasional yang independen sehingga pengaruh kekuatan politik dalam penyusunan standar dapat minimal. 
  • Proses pembuatan IFRS lebih komprehensif melalui riset yang mendalam. Komentar untuk discussion paper maupun exposure draft keluaran IASB datang dari seluruh dunia sehingga standar yang dihasilkan lebih mencerminkan kebutuhan global daripada kebutuhan suatu negara tertentu. 
  • IFRS adalah standar yang berbasis prinsip (principle based) sehingga pengaturannya lebih sederhana dibandingkan dengan standar pelaporan keuangan keluaran Amerika Serikat yang lebih terperinci dan rumit (rule based). 
  • IFRS mensyaratkan pengungkapan informasi (disclosure) yang lebih detail dan terperinci sehingga membantu pengguna laporan keuangan mendapatkan informasi yang relevan. 
  • IFRS semakin diterima oleh banyak negara, terlebih setelah terbukti standar akuntansi Amerika Serikat tidak mampu membentengi skandal-skandal perusahaan besar seperti kasus Enron dan Worldcom.

Sejak Juni 2009, proses konvergensi IFRS mengalami percepatan. Sepanjang semester dua tahun 2009, DSAK-IAI menerbitkan kurang lebih 19 exposure draft PSAK dan ISAK juga mencabut beberapa PSAK yang sudah tidak relevan. Sepanjang tahun 2010 dan 2011, DSAL-IAI secara bertahap mengadopsi IFRS.

Sampai 1 Januari 2012, DSAK-IAI telah menerbitkan semua IFRS/IAS kecuali IAS 41 Agriculture dan IFRS 1 First Time Adoption International Financial Reporting Standards.


DSAK-IAI belum mengambil keputusan kapan IAS 41 akan diadopsi. IFRS 1 tidak relevan untuk diadopsi karena beberapa ketentuan transisi PSAK telah mempertimbangkan isi ketentuan dari IFRS 1 tersebut.

Sunday, October 7, 2018

Cara Mudah Belajar dan Memahami Akuntansi Untuk Pemula Dalam 7 Menit


Sebelum belajar akuntansi tentu kita harus memahami terlebih dahulu definisi atau pengertian akuntansi itu sendiri.

Apa itu akuntansi ?
Akuntansi adalah seni/prosedur/metode/ketentuan/aturan dalam mengukur, mengumpulkan dan melaporkan informasi yang berguna tentang kegiatan dan tujuan yang menyangkut keuangan suatu organisasi.

Dalam akuntansi ada sebuah istilah yang dinamakan dengan Double Entry, yaitu suatu sistem pencatatan transaksi-transaksi keuangan secara berpasangan, dimana setiap transaksi berakibat ganda yaitu Debet dan Kredit. Dimana jumlah debet sama dengan jumlah Kredit,

Ilustrasi:
23 Oktober Tn. Ari menyetorkan modal untuk usahanya sebesar Rp. 10.000.000,.

Maka pencatatannya harus dilakukan double entry yaitu di debet dan kredit, dengan jurnalnya sebagai berikut:

Kas                   Rp. 10.000.000,. (debet)
         Modal                               Rp. 10.000.000,. (Kredit)

Maksudnya adalah bahwa akun Kas bertambah di sisi Debet sebesar Rp. 10.000.000, dan Modal bertambah di sisi Kredit sebesar Rp. 10.000.000. Jadi, sisi Debet dan Kredit jumlahnya seimbang, yaitu sama-sama Rp. 10.000.000.

Pada umumnya pencatatan jurnal transaksi akuntansi, semuanya harus dicatat dengan sistem berpasangan (Double Entry). 

Semua pencatatan akuntansi sudah diatur dengan standar yang ada. Jadi dalam pencatatan akuntansi kita hanya harus melakukan sesuai dengan standar dan ketentuan yang berlaku umum. Jadi, kapan suatu akun atau perkiraan dikatakan bertambah di sisi debet dan berkurang di sisi kredit, atau sebaliknya bertambah di sisi kredit dan berkurang di sisi debet ?
Berikut ketentuannya:


Keterangan:
Harta/Aset bertambah di sisi debet, dan berkurang di sisi kredit
Utang bertambah di sisi kredit, dan berkurang di sisi debet
Beban/Biaya betmabah di sisi debet, dan berkurang di sisi kredit
Pendapatan bertambah di sisi kredit, dan berkurang di sisi debet
Modal bertambah di sisi kredit, dan  berkurang di sisi debet
Prive bertambah di sisi debet, dan berkurang di sisi kredit


Cara menghafalnya sangat mudah, yaitu hanya akun Harta/Aset, Beban/Biaya, dan Prive yang bertambah di sisi debet. Selain akun Harta/Aset, Beban/Biaya, dan Prive, bertambah di sisi kredit. Coba teman-teman lihat pada tulisan yang berwarna merah. Tulisan yang berwarna merah berarti bertambahnya di sisi debet.

Jika suatu akun bertambah di sisi debet, otomatis dia akan berkurang di sisi kredit. Dan sebaliknya, jika suatu akun bertambah di sisi kredit, otomatis ia kan berkurang di sisi debet.

Jadi yang perlu diingat adalah akun Harta/Aset, Beban/Biaya, dan Prive bertambah di sisi debet. Selain akun tersebut bertambah di sisi kredit.

Jika teman-teman sudah memahami hal tersebut, maka teman-teman akan mudah memahami materi akuntansi selanjutnya, dan sistem ini tidak akan terlepas pada pelajaran akuntansi lanjutan.

Mudahkan ? Jika teman-teman masih ragu atau ada yang mau ditanyakan, silahkan komen di post komentar.

Monday, October 1, 2018

PSAK 53 : Cara Penerapan dan Contohnya


PSAK 53 Pembayaran berbasis saham disahkan oleh DSAK per  tanggal 22 oktober 2010 dan erlaku efektif tahun 2012. PSAK 53 (Revisi 2010) menggantikan PSAK 53 Kompensasi berbasis saham yang diterbitkan pada tahun 1998. PSAK 53 (revisi 2010) merupakan adopsi dari IFRS 2 Share Based Payment versi Juni 2009.

PSAK 53 mengatur perlakuan akuntansi untuk transaksi pembayaran berbasis saham.

Apa itu transaksi berbasis saham ?
Transaksi berbasis saham adalah transaksi yang di dalamnya suatu entitas menerima barang atau jasa sebagai imbalan atas instrumen ekuitas dari entitas tersebut (termasuk opsi saham karyawan), atau menerima barang atau jasa dengan memberikan laiabilitas kepada pemasok barang atau jasa tersebut untuk jumlah yang didasarkan pada harga saham entitas tersebut.

Sebelum kita membahas lebih lanjut silahkan teman-teman download terlebih dahulu PSAK 53 tentang Pembayaran Berbasis Saham. Silahkan teman-teman cari di google, karena saya belum ada kesempatan menyediakannya, atau silahkan cari bukunya.

Oke kita lanjut kepada pembahasan !

PSAK 53 membagi transaksi pembayaran berbasis saham ke dalam tiga jenis. 
  1. Transaksi pembayaran berbasis saham yang dilakukan dengan penerbitan instrumen ekuitas, yang di dalamnya suatu entitas menerima barang atau jasa sebagai imbalan untuk instrumen ekuitas dari entitas tersebut. 
  2. Transaksi pembayaran berbasis saham yang dilakukan dengan pembayaran kas, yang di dalamnya suatu entitas menerima barang atau jasa dengan memberikan liabilitas kepada pemasok barang atau jasa tersebut untuk jumlah yang ditentukan berdasarkan nilai instrumen ekuitas dari entitas tersebut.
  3. Transaksi Pembayaran berbasis saham dengan alternatif kas, yang di dalamnya menerima barang atau jasa dan syarat perjanjiannya memberikan pilihan penyelesaian dalam kas atau saham kepada entitas tersebut maupun pihak keduanya.


Dapat dilihat bahwa PSAK 53 tidak menerapkan hal-hal berikut. 
  • Transaksi berbasis saham dengan pihak mana pun dalam kapasitasnya sebagai pemegang saham di entitas tersebut. 
  • Transaksi berbasis saham dalam kombinasi bisnis.

PENGAKUAN
PSAK 53 mensyaratkan bahwa suatu entitas mengakui transaksi pembayaran berbasis saham dalam laporan keuangannya.

Secara khusus, PSAK 53 mensyaratkan bahwa suatu entitas mengakui barang dan jasa yang diterima atau diperoleh dalam transaksi pembayaran berbasis saham bila entitas tersebut memperoleh barang atau ketika jasa diterima, dan juga mengakui kenaikan ekuitas dalam transaksi pembayaran berbasis saham yang dilakukan dengan penerbitan instrumen ekuitas, atau liabilitas dalam transaksi pembayaran berbasis saham yang dilakukan dengan pembayaran kas (paragraf 7).

Ilustrasi 1

Pada tanggal 4 April 20X4, PT ABC memperoleh sebidang tanah yang memiliki nilai pasar sebesar Rp25 miliar dengan mengeluarkan 10 juta saham biasanya (masing-masing bernilai Rp1.000).

Dalam contoh ini, PSAK 53 mensyaratkan bahwa PT ABC mencatat transaksi pada tanggal 4 April 20X4 sebagai berikut.

Tanah             Rp. 25.000.000.000
         Modal                                 Rp. 25.000.000.000

PSAK 53 mengatur lebih lanjut bahwa bila barang atau jasa yang diterima atau diperoleh tidak memenuhi syarat untuk diakui sebagai aset, maka barang atau jasa tersebut harus diakui sebagai beban (paragraf 8).

Ilustrasi 2
tanggal 5 Mei 20X5, PT RND memperoleh peralatan laboratorium rupa-rupa nilai pasar sebesar Rp120.000.000 dari perusahaan asosiasinya untuk proyek riset berkelanjutan dengan mengeluarkan 100.000 saham biasanya

Dalam contoh ini, PSAK 53 mensyaratkan bahwa PT RND mencatat transaksi pada tanggal 5 Mei 20X5 sebagai berikut.


Beban riset            Rp. 120.000.000
        Modal saham                          Rp. 120.000.000

Dalam transaksi pembayaran berbasis saham yang dilakukan dengan penerbitan instrumen ekuitas yang di dalamnya jasa diterima, jasa tersebut harus diakui selama masa kerja tersebut diberikan sebagai imbalan atas instrumen ekuitas yang dikeluarkan. Oleh karena itu, jika instrumen ekuitas diberikan dengan segera, maka entitas tersebut harus mengakui jumlah penuh jasa tersebut dengan segera (paragraf 15). Namun, jika ada periode hingga opsi saham menjadi hak karyawan (periode vesting), maka entitas tersebut harus mengakui jasa yang diterima sama ketika jasa tersebut diberikan selama periode vesting (paragraf 16).

Ilustrasi 3 
Pada tanggal 1 Januari 20X6, PT XYZ (yang tahun bukunya berakhir pada tanggal 31 Desember) memberikan 100.000 opsi saham karyawan kepada direktur eksekutifnya dengan nilai Rp5.000 per opsi. Jika opsi saham karyawan diberikan dengan segera, biaya sebesar Rp500.000.000 akan dibebankan pada laporan laba rugi komprehensif tahun 20X6. Namun, jika opsi saham karyawan hanya dapat diberikan jika direktur eksekutif tersebut masih bekerja di perusahaan hingga 31 Desember 20X7, maka biaya opsi saham karyawan harus dibebankan pada laporan laba rugi komprehensif tahun 20X6 dan 20X7.

PENGUKURAN
PSAK 53 mensyaratkan peraturan yang berbeda mengenai pengukuran jenis-jenis transaksi pembayaran berbasis saham yang berbeda.

Transaksi Pembayaran Berbasis Saham yang Dilakukan dengan Penerbitan Instrumen Ekuitas
Untuk transaksi pembayaran berbasis saham yang dilakukan dengan penerbitan instrumen ekuitas, PSAK 53 mensyaratkan bahwa suatu entitas mengukur barang atau jasa yang diterima dan kenaikan ekuitas yang sesuai berdasarkan nilai wajar dari barang atau jasa yang diterima (paragraf 10). Jika nilai wajar dari barang atau Jasa yang diterima tidak dapat diukur dengan andal, PSAK 53 mensyaratkan bahwa entitas tersebut mengukur barang atau jasa yang diterima serta kenaikan ekuitas deng merujuk kepada nilai wajar dari instrumen ekuitas yang diberikan (paragraf 10).

Ilustrasi 4 
Skenario A 
Pada tanggal 6 Juni 20X6, PT A membeli sebidang tanah, yang telah ditaksir oleh juru taksir profesional sebesar Rp50 miliar, dengan mengeluarkan 10 juta dari saham biasanya. Dalam contoh ini, PSAK 53 mensyaratkan bahwa PT Amengukur transaksi tersebut berdasarkan nilai wajar dari tanah tersebut dan mencatat transaksi pada tanggal 6 Juni 20X6 sebagai berikut.

Tanah                  Rp. 50 miliar
      Modal Saham                    Rp. 50 miliar

Skenario B 
Pada tanggal 6 Juni 20X6. PT B membeli sebuah bangunan bernilai sejarah yang telah ditaksir oleh juru taksir profesional sebesar Rp10 miliar hingga Rp50 miliar, dengan mengeluarkan 1 juta dari saham biasanya. Saham biasa PT B sebanyak 100 juta dijual di BEI dan ditawar sebesar Rp22.000 per saham pada tanggal 6 Juni 20X6. Dalam contoh ini, PSAK 53 mensyaratkan bahwa PT A mengukur transaksi tersebut dengan merujuk kepada nilai wajar dari saham yang dikeluarkan dan mencatat transaksi pada tanggal 6 Juni 20X6 sebagai berikut.

Tanah                    Rp. 22 miliar
         Modal saham                    Rp. 22 miliar

Berdasarkan prinsip di atas, PSAK 53 mensyaratkan bahwa untuk transaksi dengan karyawan, suatu entitas wajib mengukur jasa yang diterima serta kenaikan ekuitasnya dengan merujuk kepada nilai wajar dari instrumen ekuitas yang diberikan, dengan alasan bahwa nilai wajar dari jasa yang diterima pada umumnya sulit diukur dengan andal (paragraf 11). PSAK 53 lebih lanjut mensyaratkan bahwa dalam kasus-kasus yang jarang terjadi, ketika nilai wajar dari instrumen ekuitas tidak dapat diukur dengan andal, suatu entitas wajib mengukur jasa yang diterima serta kenaikan ekuitasnya berdasarkan ilai intrinsik dari instrumen ekuitas yang diberikan (paragraf 26). 

Oleh karena itu, untuk opsi saham karyawan serta transaksi kompensasi dengan  karyawan yang berbasis saham dan diselesaikan dengan ekuitas lainnya. PSAK 53 mensyaratkan bahwa nilai wajar (atau nilai intrinsik dalam kasus yang jarang terjadi) dari instrumen ekuitas dianggap sebagai beban dalam laporan laba rugi komprehensif (lihat paragraf 8, 11, dan 26) dan bahwa nilai wajar (atau nilai intrinsik dalam kasus yang jarang terjadi) dari instrumen ekuitas wajib dibebankan dalam laporan laba rugi komprehensif pada periode vesting (lihat paragraf 15 dan 16).

Bagian berikut membahas opsi saham karyawan. Namun, pembahasan tersebut juga dapat diterapkan untuk setiap transaksi pembayaran berbasis saham yang dilakukan dengan penerbitan instrumen ekuitas yang diukur dengan merujuk kepada nilai wajar dari instrumen ekuitas yang diberikan, dengan pengecualian tanggal pemberian harus dibaca sebagai tanggal entitas tersebut memperoleh barang atau jasa.

PSAK 53 mensyaratkan bahwa nilai wajar dari instrumen ekuitas wajib didasarkan pada harga pasar, jika ada, dengan mempertimbangkan syarat dan ketentuan pemberian instrumen ekuitas (paragraf 17).

Jika harga pasar tidak tersedia, PSAK 53 mensyaratkan bahwa entitas tersebut mengestimasi nilai wajar dari instrumen ekuitas yang diberikan dengan menggunakan teknik evaluasi untuk menentukan harga instrumen ekuitas tersebut pada tanggal pemberian dalam transaksi wajar antara pihak-pihak yang mengetahui (paragraf 18). Model penilaian harus konsisten dengan metode penilaian harga instrumen keuangana yang berlaku umum serta harus menyertakan seluruh faktor dan asumsi yang akan dipertimbangkan oleh partisipan pasar yang mengetahui dalam menetapkan harga. Contoh-contoh model tersebut adalah model Black-Scholes dan model Binomial.

Dalam menentukan nilai wajar dari instrumen ekuitas, PSAK 53 mensyaratkan bahwa nilai wajar tersebut harus ditentukan pada tanggal pemberian yang didefinisikan sebagai tanggal entitas dan karyawannya menyetujui program tersebut, yang pada praktiknya adalah tanggal ketika karyawan menerima penawaran tersebut atau jika penawaran tersebut melalui suatu proses persetujuan, tanggal ketika persetujuan tersebut diperoleh.

Wajib dicatat bahwa PSAK 53 menerapkan pendekatan tanggal pemberian yang diubah" (modified grant date approach). Dalam pendekatan ini, (i) syarat pasar diperhitungkan dalam menentukan nilai wajar dari setiap instrumen ekuitas yang diberikan pada tanggal pemberian dan perubahan syarat pasar yang terjadi setelah tanggal pemberian tidak akan memengaruhi nilai wajar dari instrumen ekuitas yang diberikan serta (ii) syarat vesting, selain syarat pasar, dikecualikan dari penilaian harga wajar saham atau opsi saham pada tanggal pemberian. Syarat vesting diperhitungkan dengan cara mengurangi atau menambah jumlah dari saham atau opsi saham yang akhirnya menjadi hak.

Lebih lanjut PSAK 53 menjelaskan bahwa pendekatan tanggal pemberian yang diubah mensyaratkan bahwa nilai wajar tanggal pemberian harus memperhitungkan semua syarat vesting (kecuali persyaratan masa kerja dan persyaratan kinerja nonpasar) dan semua syarat-syarat nonvesting, sedangkan total nilai wajar opsi saham karyawan yang dibebankan pada laporan laba rugi komprehensif harus diubah karena tidak dapat memenuhi persyaratan masa kerja dan persyaratan kinerja nonpasar.

PSAK 53 menjelaskan definisi syarat-syarat vesting dan syarat-syarat nonvestis
sebagai berikut

Syarat-syarat vesting adalah syarat-syarat yang menentukan apakah suatu enti menerima jasa yang menyebabkan pihak lawan berhak menerima imbalan mela perjanjian pembayaran berbasis saham. Syarat-syarat vesting adalah baik (i) persyarat masa kerja ataupun (ii) persyaratan kinerja yang dapat meliputi syarat-syarat pasar maupun nonpasar.

Contoh syarat masa kerja (bakti) misalnya bila program tersebut mensyaratkan karyawan harus bekerja untuk entitas tersebut selama tiga tahun agar opsi saham karyawan tersebut menjadi hak (vested).

Contoh syarat kinerja pasar misalnya bila program tersebut mensyaratkan bahwa harga resmi dari instrumen ekuitas entitas tersebut memenuhi target rupiah tertentu agar opsi saham karyawan menjadi hak (vested).

Contoh syarat kinerja nonpasar misalnya bila program tersebut mensyaratkan pencatatan bursa umum agar opsi saham karyawan menjadi hak (vested).

Contoh syarat kinerja nonvesting misalnya bila program tersebut mensyaratkan karyawan untuk membayar kontribusi harga eksekusi dari opsi tersebut.

Ilustrasi 5 
Pada tanggal 1 Oktober 20X1, PT ABC (yang tahun bukunya berakhir pada tanggal 31 Desember) mengabulkan program yang memberikan opsi untuk membeli 200.000 saham biasa kepada lima eksekutif puncak perusahaan tersebut (sehingga jumlah totalnya adalah 1.000.000 saham) dengan harga Rp5.000 per saham. Opsi tersebut diberikan pada tanggal 1 Januari 20X2 dan akan menjadi hak (vested) pada tanggal 1 Januari 20X5 jika kelima eksekutif tersebut masih bekerja untuk perusahaan hingga tanggal tersebut. Opsi ini dapat dilaksanakan dari tanggal 1 Januari 20X5 hingga 31 Desember 20X8. Dengan menggunakan model Black-Scholes, diasumsikan bahwa nilai wajar setiap opsi pada tanggal 1 Januari 20X2 adalah Rp1.500. Selain itu, PT ABC mengharapkan agar kelima eksekutif tersebut tetap bekerja untuk perusahaan hingga tanggal Januari 20X5. Oleh karena itu, jumlah nilai wajar dari opsi saham karyawan adalah Rp1.500.000.000

Dalam contoh ini, opsi saham tersebut dicatat dalam jurnal sebagai berikut.

1 Oktober 20X1
Tidak ada jurnal

31 Desember 20X2 
Biaya kepegawaian           Rp. 500.000.000
(Rp1.500.000.000/3) 
             Cadangan modal                          Rp. 500.000.000

31 Desember 20X3 
Biaya kepegawaian           Rp. 500.000.000
(Rp1.500.000.000/3) 
              Cadangan modal                         Rp. 500.000.000


31 Desember 20X4 
Biaya kepegawaian           Rp. 500.000.000
(Rp1.500.000.000/3) 
               Cadangan modal                        Rp. 500.000.000

Jika pada tanggal 10 Januari 20X5 semua opsi saham dilaksanakan, maka ayat jurnalnya adalah sebagai berikut:

Kas                                   Rp. 5.000.000.000
Cadangan modal               Rp. 1.500.000.000   
                Modal saham                            Rp. 6.500.000.000

Jika semua opsi saham tidak dilaksanakan dan akhirnya dihapus pada tanggal 31 Desember 20X8, maka ayat jurnalnya adalah sebagai berikut.

Cadangan modal-opsi saham             Rp. 1.500.000.000
                 Cadangan modal-umum                               Rp. 1.500.000.000

Dapat dilihat bahwa jumlah total biaya kepegawaian didasarkan pada estimasi angka opsi saham karyawan yang diperkirakan menjadi hak (vested).

Ilustrasi 6
Pada bulan Januari 20X7, PT ESO, yang tahun bukunya berakhir pada tanggal 31 Desember, memberikan 50.000 opsi saham kepada 20 orang eksekutif (sehingga total opsi saham karyawannya sebanyak 1.000.000). Opsi saham karyawan akan menjadi hak (vested) hanya jika para eksekutif tersebut bekerja untuk perusahaan hingga tanggal 31 Desember 20X9.

Selama tahun 20X7, dua orang eksekutif keluar dari perusahaan sehingga perusahaan mengestimasi bahwa 6 orang eksekutif akan keluar dari perusahaan sepanjang periode 3 tahun. Selama tahun 20X8, seorang eksekutif lain keluar dari perusahaan sehingga perusahaan mengestimasi bahwa hanya 5 (bukan 6) orang eksekutif yang akan keluar dari perusahaan sepanjang periode 3 tahun. Selama tahun 20X9, dua orang eksekutif lain keluar dari perusahaan. 

Berdasarkan model Black-Scholes, nilai wajar masing-masing opsi saham karyawan ditentukan sebesar Rp1.500. 

Opsi saham karyawan perusahaan dicatat dalam jurnal untuk semua tahun yang relevan sebagai berikut.

31 Desember 20X7
Biaya kepegawaian               Rp. 350.000.000
         Cadangan modal-ESO                          Rp. 350.000.000
(14 x 50.000 x Rp1.500/3)

31 Desember 20X8
Biaya kepegawaian Rp. 400.000.000
         Cadangan modal-ESO Rp. 400.000.000
(15 x 50.000 x Rp1.500 X 2/3 - 350.000.000)

31 Desember 20X9
Biaya kepegawaian         Rp. 375.000
Cadangan modal-ESO                      Rp. 375.000
(15 x 50.000 x Rp1.500 - 750.000.000)

Seperti disebutkan di atas, nilai wajar opsi saham karyawan ditentukan pada tanggal pemberian dan tidak disesuaikan untuk perubahan syarat-syarat pasar berikutnya. Namun, jumlah opsi yang diperkirakan untuk diberikan (dengan kata lain jumlah biaya kepegawaian) harus disesuaikan untuk perubahan syarat-syarat vesting nonpasar. Penyesuaian ini dibuat agar jumlah yang diakui untuk barang dan jasa sebagai imbalan atas instrumen ekuitas yang diberikan harus didasarkan pada jumlah instrumen ekuitas yang pada akhirnya akan menjadi hak (vested). Sebagai contoh, jika tidak ada instrumen ekuitas yang diperkirakan akan diberikan karena tidak dapat memenuhi syarat-syarat vesting nonpasar (misalnya karyawan tidak dapat memenuhi masa kerja yang telah ditentukan), maka secara kumulatif tidak ada jumlah yang diakui untuk barang dan jasa yang diterima (paragraf 20).

Ilustrasi 7 
Lihat kembali contoh pada Ilustrasi 5 sebelumnya. Pada tanggal pemberian, PT ABC memperkirakan bahwa kelima eksekutif tetap bekerja untuk perusahaan hingga tanggal 1 Januari 20X5. Namun, di awal tahun 20X4, tanpa diduga salah seorang eksekutif keluar dari perusahaan dan opsi sahamnya sebanyak 200.000 pun dihapus. Dalam contoh ini, jumlah nilai wajar dari opsi saham karyawan adalah hanya sebesar Rp1.200.000.000 (Rp1.500 x 800.000), bukan Rp1.500.000.000. Namun, karena Rp1.000.000.000 dari biaya telah dibebankan pada tahun 20X2 dan 20X3, hanya Rp200.000.000 (bukan Rp500.000.000 seperti pada Ilustrasi 5) yang akan dibebankan pada laporan laba rugi komprehensif tahun 20X4. Dalam contoh ini, ayat jurnal untuk opsi saham adalah sebagai berikut.

1 Oktober 20X1
Tidak ada jurnal


31 Desember 20X2 
Biaya kepegawaian         Rp. 500.000.000
(Rp1.500.000.000/3) 
           Cadangan modal                          Rp. 500.000.000

31 Desember 20X3 
Biaya kepegawaian         Rp. 500.000.000
(Rp1.500.000.000/3) 
          Cadangan modal                           Rp. 500.000.000

31 Desember 20X4 
Biaya kepegawaian          Rp. 200.000.000
(Rp1.200.000.000 - Rp1.000.000.000) 
           Cadangan modal                          Rp. 200.000.000

Jika pada tanggal 10 Januari 20X5 keseluruhan 800.000 opsi saham dilakukan, maka ayat jurnalnya adalah sebagai berikut.

Kas                                  Rp. 4.000.000.000
Cadangan modal                Rp. 1.200.000.000
            Modal saham                                Rp. 5.200.000.000

Di sini ditekankan bahwa jumlah biaya kepegawaian yang dibebankan diperhitungkan melalui nilai wajar opsi saham karyawan yang diperkirakan menjadi hak (vested).

Ilustrasi 8 
Pada tanggal 1 Oktober 20X1.PT XYZ (yang tahun bukunya berakhir pada tanggal 31 Desember) menyetujui paket pemberian opsi kepada 10 eksekutif puncak perusaha uk membeli masing-masing 100.000 saham biasa (total sebanyak 1.000 saham) dengan harga Rp5.000 per saham. Opsi tersebut diberikan pada tanggal 1 Januari 20X2 dan akan menjadi hak(vested) pada tanggal 1 Januari 20X5 jika para eksekutif itu masih bekerja untuk perusahaan hingga tanggal tersebut. Opsi tersebut dapat dilaksanakan dari tanggal 1 Januari 20X5 hingga 31 Desember 20X8. 

Dengan menggunakan model Black-Scholes, diasumsikan bahwa nilai wajar dari setiap opsi pada tanggal 1 Januari 20X2 adalah Rp3.000. 

Diasumsikan pula bahwa seorang eksekutif mengundurkan diri sepanjang tahun 20X2 dan pada tanggal 31 Desember 20X2, diperkirakan bahwa seorang eksekutif lain akan mengundurkan diri sebelum seluruh opsi menjadi hak (sehingga diperkirakan hanya 800.000 opsi yang akan menjadi hak). Pada tahun 20X3, dua orang eksekutif mengundurkan diri dan pada tanggal 31 Desember 20X3, diperkirakan bahwa seorang eksekutif lain akan mengundurkan diri sebelum seluruh opsi menjadi hak (sehingga diperkirakan hanya 600.000 opsi yang akan menjadi hak). Pada tahun 20X4, tidak ada eksekutif yang mengundurkan diri (sehingga diperkirakan hanya 700.000 opsi yang akan menjadi hak).
Dalam contoh ini, ayat jurnal untuk opsi saham adalah sebagai berikut.

1 Oktober 20X1
Tidak ada jurnal

31 Desember 20X2 
Biaya kepegawaian          Rp. 800.000.000
(Rp3.000 x 800.000 X 1/3) 
            Cadangan modal                            Rp. 800.000.000

31 Desember 20X3 
Biaya kepegawaian         Rp. 400.000.000
(Rp3.000 x 600.000 x 2/3 - Rp800.000.000) 
             Cadangan modal                           Rp. 400.000.000

31 Desember 20X4 
Biaya kepegawaian         Rp. 900.000.000
(Rp3.000 x 700.000 x 3/3 - Rp1.200.000.000) 
              Cadangan modal                           Rp. 900.000.000

Ilustrasi 8 didasarkan pada opsi saham karyawan yang syarat vestingnya adalah masa kerja. Pada praktiknya, opsi saham karyawan dapat distrukturisasi agar menggabungkan syarat-syarat vesting lain.

Contoh berikut mengilustrasikan opsi saham karyawan dengan syarat vesting kinerja nonpasar

Ilustrasi 9 
Pada tanggal 1 Oktober 20X1, PT LMN (yang tahun bukunya berakhir pada tanggal 31 Desember) menyetujui paket pemberian opsi kepada 10 eksekutif puncak perusahaan untuk membeli masing-masing 10.000 saham biasa (total sebanyak 100.000 saham) dengan harga Rp5.000 per saham. Opsi tersebut diberikan pada tanggal 1 Januari 20X2 dan akan menjadi hak (vested) pada tanggal 31 Desember 20X2 jika penjualan perusahaan mengalami kenaikan hingga lebih dari 20%, atau pada tanggal 31 Desember 20X3 jika kenaikan ratarata pada periode selama 2 tahun lebih dari 20%, atau pada tanggal 31 Desember 20X4 jika kenaikan rata-rata pada periode selama 3 tahun lebih dari 10%. 

Dengan menggunakan model Black-Scholes, diasumsikan bahwa nilai wajar dari setiap opsi pada tanggal 1 Januari 20X2 adalah Rp3.000. 

Pada tanggal 31 Desember 20X2, penjualan hanya mengalami kenaikan sebesar 16%, namun perusahaan yakin bahwa penjualan untuk tahun 20X3 akan mengalami kenaikan sedikitnya sebesar 15%, sehingga memenuhi syarat vesting kenaikan kumulatif sebesar 15%. Sepanjang tahun 20X2, salah seorang eksekutif mengundurkan diri dari perusahaan, dan perusahaan memperkirakan seorang eksekutif lain akan mengundurkan diri sepanjang tahun 20X3. 

Pada tanggal 31 Desember 20X3, penjualan hanya mengalami kenaikan sebesar 13%, namun perusahaan yakin bahwa penjualan untuk tahun 20X4 akan mengalami kenaikan sedikitnya sebesar 8%, sehingga memenuhi syarat vesting kenaikan kumulatif sebesar 10%. Sepanjang tahun 20X3, salah seorang eksekutif mengundurkan diri dari perusahaan dan perusahaan memperkirakan seorang eksekutif lain akan mengundurkan diri sepanjang tahun 20X4. Pada tanggal 31 Desember 20X4, penjualan mengalami kenaikan sebesar 10% dan syarat vesting pun terpenuhi. Tidak ada seorang eksekutif pun yang mengundurkan diri dari perusahaan sepanjang tahun 20X4, sehingga masing-masing dari total delapan orang eksekutif menerima 100.000 saham. 

Dalam contoh ini, ayat jurnal untuk opsi saham adalah sebagai berikut.

31 Desember 20X2 
Biaya kepegawaian        Rp. 120.000.000
(Rp3.000 x 10.000 x 8 x 1/2)
         Cadangan modal                          Rp. 120.000.000
  
31 Desember 20X3 
Biaya kepegawaian       Rp. 20.000.000
(Rp3.000 x 10.000 x 7 x 2/3 - 120.000.000) 
        Cadangan modal                           Rp. 20.000.000

31 Desember 20X4 
Biaya kepegawaian      Rp. 100.000.000
(Rp3.000 x 10.000 X 8 - 140.000.000) 
        Cadangan modal                           Rp. 100.000.000

Dapat dilihat bahwa jumlah biaya kepegawaian yang dibebankan selama tiga tahun adalah Rp240.000.000 (Rp3.000 X 10.000 X 8).

Kadang-kadang opsi saham karyawan bisa memiliki syarat pasar (misalnya target harga saham) sebagai syarat vesting-nya. Dalam kasus seperti ini, PSAK 53 mensyaratkan bahwa suatu entitas wajib mengakui jasa yang diterima dari karyawan yang memenuhi seluruh syarat-syarat vesting tanpa memandang apakah syarat pasar terpenuhi atau tidak (paragraf 22). Seperti disebutkan sebelumnya, ini karena syarat pasar telah diperhitungkan pada saat estimasi nilai wajar opsi pada tanggal pemberian.

Ilustrasi 10 
Pada tanggal 1 Oktober 20X1, PT STU (yang tahun bukunya berakhir pada tanggal 31 Desember) menyetujui paket pemberian opsi kepada direktur eksekutif (CEO), perusahaan untuk membeli 500.000 saham biasa perusahaan dengan harga Rp5.000 per saham. Opsi tersebut diberikan pada tanggal 1 Januari 20X2 dan akan menjadi hak (vested) pada tanggal 31 Desember 20X4. Namun, opsi saham tersebut tidak bisa dilaksanakan jika harga pasar saham perusahaan tidak mengalami kenaikan menjadi sedikitnya Rp8.000 pada tanggal 31 Desember 20X4. 

Perusahaan menggunakan model penetapan harga opsi Binomial (yang memperhitungkan probabilitas harga saham dapat atau tidak dapat melebihi Rp8.000 pada tanggal 31 Desember 20X4) dan mengestimasikan bahwa nilai wajar opsi saham dengan syarat pasar ini adalah sebesar Rp1.200 per opsi. 

Dengan asumsi bahwa perusahaan memperkirakan CEO tersebut masih bekerja hingga setelah tanggal 31 Desember 20X4 dan CEO memang masih bekerja setelan ggal tersebut, maka ayat jurnal untuk opsi saham adalah sebagai berikut.

Terpenuhi atau tidak terpenuhinya syarat pasar tidak akan memengaruhi ayat-ayat
jurnal berikut

31 Desember 20X2 
Biaya kepegawaian    Rp. 200.000.000
(Rp600.000.000/3) 
      Cadangan modal                          Rp. 200.000.000

31 Desember 20X3
Biaya kepegawaian     Rp. 200.000.000
(Rp600.000.000/3) 
       Cadangan modal                         Rp. 200.000.000

31 Desember 20X4 
Biaya kepegawaian     Rp. 200.000.000
(Rp600.000.000/3). 
       Cadangan modal                         Rp. 200.000.000

Opsi yang diberikan perusahaan mungkin memiliki fitur penambahan kembali (reload feature). Fitur ini membuat opsi menjadi menarik karena karyawan akan mendapatkan tambahan opsi saham bila mereka memilih mencairkan opsinya dengan saham dan bukan dengan kas. Dalam PSAK 53 paragraf 24 disyaratkan bahwa fitur tambahan ini tidak boleh dipertimbangkan dalam mengestimasi nilai wajar opsi yang diberikan pada tanggal pengukuran. Bila memang karyawan memilih untuk mengambil pilihan dalam fitur ini maka opsi tambahan tersebut dihitung sebagai opsi baru jika dan saat opsi tambahan tersebut diberikan

Suatu entitas dapat mengubah syarat dan ketentuan pemberian opsi saham karyawan. Misalnya, suatu entitas dapat menetapkan ulang harga opsi untuk mengurangi harga eksekusi dari opsi yang diberikan.
PSAK 53 mensyaratkan bahwa tanpa memandang perubahan syarat dan ketentuan opsi saham karyawan, suatu entitas wajib mengakui, sebagai nilai minimal, jasa yang diterima diukur dengan nilai wajar pada tanggal pemberian, kecuali jika opsi itu akhirnya tidak menjadi hak (vested) (paragraf 28). Selain itu, suatu entitas wajib mengakui dampak perubahan yang menaikkan jumlah nilai wajar dari opsi tersebut (paragraf 28).

Contoh berikut mengilustrasikan kasus perubahan syarat dan ketentuan opsi saham karyawan dengan perubahan harga eksekusi opsi tersebut (penetapan ulang harga).

Ilustrasi 11
Pada tanggal 1 Oktober 20X1, PT XYZ (yang tahun bukunya berakhir pada tanggal 31 Desember) menyetujui paket pemberian opsi kepada lima eksekutif puncak perusahaan untuk membeli masing-masing 20.000 saham biasa (total sebanyak 100.000 saham) dengan harga Rp5.000 per saham. Opsi tersebut diberikan pada tanggal 1 Januari 20X2 dan akan menjadi hak (vested) pada tanggal 1 Januari 20X5 Jika para eksekutif itu masih bekerja untuk perusahaan hingga tanggal tersebut. Opsi tersebut dapat dilaksanakan dari tanggal 1 Januari 20X5 hingga 31 Desember 20X8. 

Dengan menggunakan model Black-Scholes, diasumsikan bahwa nilai wajar dari setiap opsi pada tanggal 1 Januari 20X2 adalah Rp3.000. Pada tanggal 1 Januari 20X3, perusahaan mengurangi harga eksekusi opsi saham menjadi Rp4.000, dengan perkiraan bahwa harga pasar saham perusahaan tidak diperkirakan akan melebihi Rp5.000 pada 3-4 tahun mendatang akibat resesi global. 

Perusahaan mengestimasi bahwa pada tanggal 1 Januari 20X3 (tanggal penetapan ulang harga), nilai wajar setiap opsi sebelum memperhitungkan penetapan ulang harga adalah Rp1.600, sedangkan nilai wajar dari setiap opsi yang ditetapkan ulang adalah Rp1.800. Dalam contoh ini, ayat jurnal untuk opsi saham adalah sebagai berikut.


31 Desember 20X2 
Biaya kepegawaian    Rp. 100.000.000
(Rp3.000 x 100.000/3) 
       Cadangan modal                        Rp. 100.000.000

31 Desember 20X3 
Biaya kepegawaian    Rp. 110.000.000
(Rp3.000 x 100.000/3 + Rp200 x 100.000/2) 
        Cadangan modal                       Rp. 110.000.000


31 Desember 20X4 
Biaya kepegawaian   Rp. 110.000.000
(Rp3000 x 100.000/3 + Rp200 x 100.000/2) 
       Cadangan modal                          Rp. 110.000.000

Jika suatu entitas membatalkan atau menyelesaikan pemberian opsi saham selama periode vesting, PSAK 53 mensyaratkan bahwa entitas tersebut memperhitungkan pembatalan atau penyelesaian itu sebagai percepatan vesting (paragraf 30(a)). Contoh jika sebuah opsi saham karyawan akan menjadi hak (vested) setelah tiga tahun, namun diselesaikan setelah dua tahun, maka biaya kepegawaian yang timbul akibat opsi saham karyawan yang diberikan wajib diakui secara prospektif selama dua tahun bukan tiga tahun.

PSAK 53 lebih lanjut mensyaratkan bahwa semua kompensasi yang diberikan kepada karyawan wajib diperhitungkan sebagai transaksi pembelian kembali saham (paragraf 30 (b)).

Ilustrasi 12 
Pada tanggal 1 Oktober 20X1.PT MNO (yang tahun bukunya berakhir pada tanggal 31 Desember) menyetujui paket pemberian opsi kepada lima eksekutif puncak perusahaan untuk membeli masing-masing 20.000 saham biasa (total sebanyak 100.000 saham) dengan harga Rp5.000 per saham. Opsi tersebut diberikan pada tanggal 1 Januari 20x2 dan akan menjadi hak (vested) pada tanggal 1 Januari 20X5 jika para eksekutif itu masih bekerja untuk perusahaan hingga tanggal tersebut. Opsi tersebut dapat dilaksanakan dari tanggal 1 Januari 20x5 hingga 31 Desember 20X8. Dengan menggunakan model Black-Scholes, diasumsikan bahwa nilai wajar dari setiap opsi pada tanggal 1 Januari 20X2 adalah Rp3.000. Pada tanggal 1 Januari 20X3, perusahaan membatalkan opsi saham dan membayar masing-masing eksekutif sebesar Rp50.000.000.

Dalam contoh ini, ayat jurnal untuk opsi saham adalah sebagai berikut.

31 Desember 20X2 
Biaya kepegawaian             100.000.000
(Rp3000 x 100.000/3) 
             Cadangan modal                       100.000.000


31 Desember 20X3  
Biaya kepegawaian           200.000.000
(Rp3000 x 100.000 - 100.000) 
             Cadangan modal                       200.000.000

31 Desember 20X4
Cadangan modal              250.000.000
            Kas                                             250.000.000

PSAK 53 juga mensyaratkan bahwa bila suatu entitas atau pihak lawan dapat memilih untuk memenuhi atau tidak memenuhi syarat vesting, maka ketidakmampuan entitas atau pihak lawan untuk memenuhi syarat vesting selama periode vesting wajib diperlakukan sebagai pembatalan yang mengakibatkan percepatan vesting.

Ilustrasi 13
Pada tanggal 1 Januari 20X1, PT ABC memberikan kesempatan kepada direktur keuangannya (CFO) untuk berpartisipasi dalam sebuah program yang memungkinkan dirinya mendapatkan opsi saham jika ia menyetujui untuk menyimpan 10% dari gaji bulanannya sebesar Rp1.000.000 selama periode tiga tahun. Kompensasi bulanan diberikan dari simpanan gaji CFO tersebut. CFO tersebut dapat menggunakan mulasi potongan untuk melaksanakan opsinya di akhir periode tiga tahun atau
simpanannya kapan pun selama periode tiga tahun tersebut. 

Estimasi beban perjanjian pembayaran berbasis saham itu adalah Rp3.000.000 per tahun untuk periode tiga tahun tersebut. 

Dalam contoh ini, persyaratan membayar kontribusi terhadap program merupakan syarat nonvesting. Bila CFO tersebut memilih untuk berhenti berkontribusi pada bulan April 20X2, maka peristiwa ini diperlakukan sebagai pembatalan. 

Ayat jurnalnya adalah sebagai berikut.

31 Desember 20X1
Biaya kepegawaian 120.000.000 
       Kas                                   108.000.000
       Tunggakan gaji                   12.000.000
(Gaji CFO untuk 12 bulan)

Biaya kepegawaian     3.600.000
       Cadangan modal--Kepemilikan Saham Karyawan (KSK)  3.600.000
(KSK untuk CFO)

1 April 20X2
Biaya kepegawaian 30.000.000
     Kas                                   27.000.000
     Tunggakan gaji                   3.000.000
(Gaji CFO untuk 3 bulan)


Tunggakan gaji        15.000.000
       Kas                                  15.000.000
(menghapuskan liabilitas)


Biaya kepegawaian       7.200.000
       Cadangan modal-KSK        7.200.000
(pembatalan program)

PSAK 53 mengatur lebih lanjut bahwa bila suatu entitas maupun pihak lawan tidak dapat memilih untuk memenuhi syarat nonvesting (misalnya produk domestik bruto negaranya melebihi 5%), maka ketidakmampuan untuk memenuhi syarat nonvesting tidak akan memengaruhi akuntansi. Entitas tersebut tetap mengakui beban selama sisa periode vesting (paragraf 23).

Dalam peristiwa yang jarang terjadi bila entitas tersebut tidak mampu mengestimasi nilai wajar instrumen ekuitas yang diberikan pada tanggal pemberian secara andal, PSAK 53 memperbolehkan penggunaan basis nilai intrinsik (perbedaan antara nilai wajar saham dan harga eksekusi).
Untuk peristiwa jarang seperti itu, PSAK 53 mengatur bahwa entitas tersebut wajib (paragraf 26).
  • Mengukur instrumen ekuitas pada nilai intrinsiknya, pertama kali pada tanggalentitas itu memperoleh barang dan jasa dan selanjutnya pada setiap tanggal pelaporan dan akhirnya pada tanggal penyelesaian akhir (yaitu saat opsi sahamdilaksanakan, dibatalkan atau kedaluwarsa). 
  • Mengakui barang dan jasa yang diterima berdasarkan jumlah instrumen ekuitas yang akhirnya menjadi hak (vested) atau akhirnya dilaksanakan.

Transaksi Pembayaran Berbasis Saham dengan Alternatif Kas
Untuk transaksi pembayaran berbasis saham yang syarat perjanjiannya memberikan pilihan kepada entitas dan pihak lawan untuk menyelesaikan transaksi tersebut dengan pembayaran kas atau penerbitan instrumen ekuitas, PSAK 53 mensyaratkan bahwa suatu entitas memperhitungkan transaksi tersebut sebagai transaksi pembayaran berbasis saham yang dilakukan dengan pembayaran kas jika entitas tersebut membebankan liabilitas untuk diselesaikan dengan kas, atau sebagai transaksi pembayaran berbasis saham yang dilakukan dengan penerbitan instrumen ekuitas jika tidak ada liabilitas seperti itu yang dibebankan (paragraf 37).

PSAK 53 mengatur perlakuan akuntansi spesifik sesuai dengan apakah entitas atau pihak lawan tersebut memiliki pilihan.

Pihak lawan memiliki hak untuk memilih
Untuk transaksi pembayaran berbasis sahamy pilihan penyelesaian kepada pihak lawan, et instrumen keuangan majemuk dengan komponen ekuitas (yakni pihak lawan men menuntut pembayaran dengan kas) dan komponen pembayaran dengan instrumen ekuitas).

PSAK 50 Instrumen Keuangan: Penyajian dan akuntansi tersendiri untuk instrumen keuangan majer komponen utang ditentukan terlebih dahulu.

Sesuai dengan persyaratan PSAK 50, PSAK 53 mensyaratkan bahwa:
a)      untuk transaksi dengan pihak-pihak selain karyawan, entitas tersebut mengukur nilai wajar dari barang atau jasa yang diperolen dan mengukur nilai wajar dari komponen utang: nilai wajar dari komponen ekuitas adalah selisih dari mal wajar barang atau jasa dan nilai wajar komponen utang (paragraf 38) dan
b)      untuk transaksi dengan karyawan, entitas tersebut pertama-tama harus mene mal wajar dari komponen utang dan kemudian mengukur nilai wajar dari kom ekuitas dengan memperhitungkan bahwa pihak lawan harus membatalkan be untuk menerima kas guna menerima instrumen ekuitas (paragraf 39 dan 40).

Pada tanggal penyelesaian, PSAK 53 mensyaratkan bahwa:
a)      jika pihak lawan menuntut penyelesaian dengan penerbitan instrumen ekuitas, maka entitas tersebut wajib mentransfer liabilitas kepada ekuitas, sebagai pengganti atas instrumen ekuitas yang diterbitkan (paragraf 42); dan
b)      jika pihak lawan menuntut penyelesaian dengan pembayaran kas, maka entitas tersebut wajib memperlakukan kompensasi itu sebagai penyelesaian liabilitas secara penuh, dan komponen ekuitas yang sebelumnya diakui harus tetap berada di dalam ekuitas (paragraf 43).

Entitas memiliki hak untuk memilih
Untuk transaksi pembayaran berbasis saham yang syarat perjanjiannya memberikan pilihan penyelesaian kepada entitas, maka entitas itu wajib menentukan jika entitas itu memiliki kewajiban kini untuk diselesaikan dengan pembayaran kas dan memperhitungkan transaksi pembayaran berbasis saham.

PSAK 53 mengatur bahwa suatu entitas memiliki kewajiban kini untuk diselesaikan dengan pembayaran kas jika pilihan penyelesaian dengan penerbitan instrumen ekuitas tidak memiliki substansi komersial, atau jika entitas tersebut memiliki praktik di mas lalu atau kebijakan tertulis akan penyelesaian dengan pembayaran kas, atau secara umum menyelesaikan dengan pembayaran kapan pun pihak lawan memi penyelesaian dengan pembayaran kas (paragraf 44)

Jika entitas tersebut memiliki kewajiban kini untuk menyelesaikan dengan pembayaran kas, maka PSAK 53 mensyaratkan bahwa entitas itu memperhitungkan transaksi tersebut sebagai transaksi pembayaran berbasis saham yang dilakukan dengan pembayaran kas (paragraf 45).

Jika kewajiban seperti itu tidak ada, maka PSAK 53 mensyaratkan bahwa entitas itu memperhitungkan transaksi tersebut sebagai transaksi pembayaran berbasis saham yang dilakukan dengan penerbitan instrumen ekuitas (paragraf 46). Dalam kasus seperti itu, PSAK 53 mengatur bahwa pada saat penyelesaian:
a)      jika entitas itu memilih untuk menyelesaikan dengan pembayaran kas, maka pembayaran dengan kas wajib diperhitungkan sebagai pembelian kembali saham;
b)       jika entitas itu memilih untuk menyelesaikan dengan penerbitan instrumen ekuitas, maka akuntansi lebih lanjut tidak diwajibkan. Pembayaran berlebih wajib diakui sebagai beban;
c)      jika entitas memilih penyelesaian dengan nilai wajar yang lebih tinggi pada tanggal penyelesaian, maka entitas mengakui beban tambahan atas kelebihan nilai yang diberikan. Kelebihan nilai dihitung atas perbedaan kas yang dibayarkan dan nilai wajar dari instrumen ekuitas yang seharusnya diterbitkan. Selain itu kelebihan nilai juga dapat dihitung dari perbedaan antara nilai wajar saham yang diterbitkan dan jumlah kas yang harusnya dibayar.

Ilustrasi 14
Pada tanggal 1 Januari 20X1, PT LMN memberikan hak kepada direktur eksekutifnya (CEO), sebagai bagian dari paket remunerasi, untuk memilih 1.200.000 saham atau 1.000.000 saham phantom. Dalam paket remunerasi ini, ia memiliki hak untuk menerima pembayaran dengan kas setara dengan nilai 1.000.000 saham. Pemberian ini mensyaratkan ia menyelesaikan masa bakti selama dua tahun dengan perusahaan. Selain itu, jika CEO itu memilih alternatif saham, saham itu harus dititipkan selama dua tahun lagi setelah tanggal vesting. Harga pasar saham perusahaan adalah sebagai berikut
·         Pada tanggal 1 Januari 20X1: Rp5.000 per saham
·         Pada tanggal 31 Desember 20X1: Rp5.400 per saham
·         Pada tanggal 31 Desember 20X2: Rp6.000 per saham
·          
Berdasarkan model penetapan harga opsi, dan setelah memperhitungkan pembatasan transfer pasca-vesting, nilai wajar dari alternatif saham diestimasi sebesar Rp4.500 per saham pada tanggal pemberian. Dalam contoh ini, nilai wajar dari instrumen majemuk adalah sebesar Rp5.400.000.000 (1.200.000 Rp4.500), komponen utang (yaitu penyelesaian dengan pembayaran kas) sebesar Rp5.000.000.000 (1.000.000 x Rp5.000), sehingga nilai wajar dari komponen ekuitas adalah sebesar Rp400.000.000 (Rp5.400.000.000 - Rp5.000.000.000).

Ayat jurnalnya adalah sebagai berikut:

31 Desember 20X1
Biaya kepegawaian     2.900.000.000
      Liabilitas                                        2.700.000.000
(1.000.000 x Rp5.400 x 1/2)
      Cadangan modal                              200.000.000
(Rp400.000.000 x 1/2)

31 Desember 20X2
Biaya kepegawaian       3.500.000.000
       Liabilitas                                         3.300.000.000
(1.000.000 x Rp6.000 - 2.700.000.000)
      Cadangan modal                                200.000.000
(Rp400.000.000 x 1/2)

Diasumsikan bahwa CEO itu memilih penyelesaian dengan pembayaran kas pada tanggal 1 Januari 20X3, maka ayat jurnalnya adalah sebagai berikut.
Liabilitas               6.000.000.000
         Kas                                        6.000.000.000

Namun, jika CEO itu memilih penyelesaian dengan penerbitan instrumen ekuitas pada tanggal 1 Januari 20X3, maka ayat jurnalnya adalah adalah sebagai berikut.
Liabilitas                 6.000.000.000
Cadangan modal       400.000.000
       Modal saham                          6.400.000.000
(1.200.000 x Rp1.000)

Pembayaran Berbasis Saham Antar kelompokEntitas Ada kalanya pembayaran berbasis saham diberikan kepada anak perusahaan atau perusahaan lain dalam kelompok bisnis yang sama. Misalnya adalah entitas nyang membayar supplier-nya (yang merupakan anak perusahaan PSAK 53 paragraf 47-50 mengatur bagaimana entitas mengukur pembayaran tersebut dalam laporan keuangan individual entitas (bukan laporan keuangan konsolidasian),

Entitas yang menerima barang atau jasa dan memberikan imbalan instrumen itas mengukur nilai barang/jasa yang diterima dengan menilai sifat dari penghargaan berikan serta hak dan kewajiban yang dimiliki entitas. Jumlah yang diakui menerima barang/jasa bisa saja berbeda dengan jumlah yang diakui entitas penerima imbalan berbasis saham.

Kedua pihak yang bertransaksi hanya bisa mengakui transaksi sebagai pembayaran berbasis saham yang diselesaikan dengan instrumen ekuitas bila memang transaksi tersebut dibayar dengan saham yang diterbitkan ekuitas (bukan saham perusahaan lain misalnya). Bila tidak maka transaksi tersebut diakui sebagai transaksi pembayaran berbasis saham yang diselesaikan dengan kas.

PENGUNGKAPAN
PSAK 53 mensyaratkan bahwa suatu entitas mengungkap informasi untuk memahami sifat dan tingkat perjanjian pembayaran berbasis saham yang dilakukan selama tahun berjalan (paragraf 51).

Secara khusus, PSAK 53 mensyaratkan minimal pengungkapan berikut (paragraf 52).
1.      Deskripsi masing-masing jenis perjanjian pembayaran berbasis saham yang ada pada tahun berjalan, termasuk syarat dan ketentuan umum dari setiap perjanjian, seperti persyaratan vesting dan metode penyelesaian.
2.      Jumlah dan rata-rata tertimbang harga eksekusi opsi saham untuk:
a)        opsi yang beredar pada awal tahun;
b)       opsi yang diberikan selama periode;
c)         opsi yang hangus selama periode;
d)       opsi yang dieksekusi dalam suatu periode;
e)        opsi yang saat jatuh temponya telah lewat (expired) dalam suatu periode;
f)        opsi yang beredar pada akhir tahun; dan
g)        opsi yang dapat dieksekusi pada akhir tahun.

3.      Rata-rata tertimbang harga saham untuk opsi yang dieksekusi dalam suatu periode.
4.      Rentang harga eksekusi dan rata-rata tertimbang sisa masa kontraktual untuk opsi saham yang beredar pada akhir tahun.

PSAK 53 juga mensyaratkan bahwa suatu entitas mengungkapkan informasi yang memungkinkan pengguna laporan keuangan untuk memahami bagaimana nilai wajar dari barang dan jasa yang diterima atau nilai wajar dari instrumen ekuitas yang diberikan dalam suatu periode ditentukan (paragraf 53).

Secara khusus, PSAK 53 mensyaratkan minimal pengungkapan berikut untuk kasus-kasus ketika nilai wajar dari transaksi pembayaran berbasis saham diukur dengan menggunakan nilai wajar dari instrumen ekuitas yang diberikan (paragraf 54).
1.      Informasi mengenai bagaimana nilai wajar dari opsi saham yang diberikan dalam suatu periode ditentukan, termasuk:
a)      model penetapan harga opsi yang digunakan dan input bagi model tersebut, termasuk rata-rata tertimbang harga saham, harga eksekusi, volatilitas (volatility) harga saham yang diharapkan, periode opsi, dividen yang diharapkan, dan suku bunga bebas risiko:
b)      bagaimana volatilitas harga saham yang diharapkan ditentukan; dan
c)      apakah ciri-ciri lain dari opsi yang diberikan telah diperhitungkan.

2.      Informasi mengenai bagaimana nilai wajar dari instrumen ekuitas lain selain diberikan dalam suatu periode ditentukan.
3.     Bila entitas memberikan pembayaran instrumen ekuitas lain selain opsi saham maka entitas mengungkapkan jumlah dan rata-rata tertimbang nilai wajar instrumen ekuitas pada tanggal pengukuran, dan informasi tentang bagaimana nilai wajar tersebut diukur. Bila nilai wajar tidak diukur atas dasar harga pasar yang dapat diobservasi entitas harus mengungkapkan bagaimana nilai wajar instrumen tersebut ditentukan Entitas juga mengungkapkan bagaimana dividen yang diharapkan dari instrumen tersebut (bila ada) diperhitungkan dalam pengukuran nilai wajar, begitu juga dengan fitur melekat lainnya.

Bila entitas memodifikasi perjanjian selama periode maka entitas harus menjelaskan mengenai modifikasi tersebut. Entitas juga mengungkapkan tambahan nilai wajar bila ada akibat dari modifikasi tersebut juga bagaimana tambahan nilai wajar tersebut diukur.

PSAK 53 lebih lanjut mensyaratkan bahwa suatu entitas mengungkapkan informasi yang memungkinkan pengguna laporan keuangan untuk memahami dampak transaksi pembayaran berbasis saham terhadap laba atau rugi entitas dalam suatu periode dan terhadap posisi keuangannya (paragraf 57).

Secara khusus, PSAK 53 mensyaratkan minimal pengungkapan berikut (paragraf 58).
a)      Jumlah beban yang diakui dalam suatu periode yang muncul akibat transaksipembayaran berbasis saham, dengan pengungkapan beban yang muncul akibat transaksi pembayaran berbasis saham yang dilakukan dengan penerbitan instrumenekuitas secara tersendiri.
b)       Jumlah tercatat pada akhir periode dari kewajiban yang muncul akibat transaksi berbasis saham.
c)       Jumlah nilai intrinsik pada akhir periode dari kewajiban yang hak penyelesaian dengan pembayaran kas dari pihak lawan telah menjadi hak (vested) pada akhir periode.

KETENTUAN TRANSISI
Untuk transaksi pembayaran berbasis saham yang diselesaikan dengan instrumen tas entitas harus menerapkan Pernyataan ini untuk pemberian saham, opsi saham atau instrumen ekuitas lain yang diberikan setelah tanggal 1 Januari 2012 dan belum vested pada tanggal efektif Pernyataan ini.

Entitas dianjurkan, tetapi tidak disyaratkan, untuk untuk pemberian lain selain instrumen ekuitas jika ekuitas telah mempublikasikan wajar instrumen ekuitas tersebut, yang ditentukan pada tanggal pengukuran.

Jika setelah PSAK ini berlaku efektif suatu entitas mengubah syarat dan ketentuan pemberian yang belum menerapkan PSAK ini, maka entitas itu tetap wajib menerapkan PSAK ini terhadap perubahan tersebut (paragraf 64).

Untuk seluruh instrumen ekuitas yang diatur oleh PSAK ini, suatu entitas wajib menyajikan kembali informasi komparatif, dan jika diperlukan, menyesuaikan laporan posisi keuangan pembuka saldo laba untuk periode paling awal yang disajikan (paragraf 62)

Untuk liabilitas yang muncul akibat transaksi pembayaran berbasis saham yang telah ada pada tanggal PSAK ini efektif, maka entitas menerapkan PSAK ini secara retrospektif. Atas liabilitas tersebut, entitas menyajikan kembali informasi komparatif, termasuk menyesuaikan saldo laba awal periode sajian kecuali entitas tidak disyaratkan untuk menyajikan kembali informasi komparatif.

PERBEDAAN DENGAN STANDAR IASB
PSAK 53 dibuat berdasarkan IFRS 2 Share-based Payment. Tidak ada perbedaan siginifikan antara PSAK 53 dan IFRS 2.

APENDIKS
PSAK 53 mensyaratkan bahwa semua syarat nonvesting diperhitungkan ketika menetapkan nilai wajar dari pembayaran berbasis saham.

PSAK 53 juga mensyaratkan bahwa bila suatu entitas atau pihak lawan dan memilih untuk memenuhi syarat nonvesting, ketidakmampuan entitas atau pihak lawan itu untuk memenuhi syarat nonvesting dalam suatu periode vesting wajib diperlakukan sebagai pembatalan yang mengakibatkan percepatan vesting. Namun, bila baik entitas maupun pihak lawan dapat memilih untuk syarat nonvesting (misalnya produk domestil bruto dari negara melebihi 5%), PSAK 53 mengatur bahwa ketidakmampuan untuk memenuhi syarat nonvesting tidak akan berdampak pada akuntansi. Entitas tersebut tetap mengakui beban selama sisa periode vesting.

Ilustrasi  
Pada tanggal 1 Januari 20X1. PT ABC memberikan kesempatan kepada direktur keuangannya (CFO) untuk berpartisipasi dalam sebuah program yang memungkinkannya memperoleh opsi saham jika ia menyetujui untuk menyimpan 10% dari gaji bulanannya sebesar Rp1.000.000 selama periode tiga tahun. Pembayaran bulanan dilakukan dengan mengurangkan gaji CFO. CFO itu dapat menggunakan akumulasi simpanan untuk melaksanakan opsinya pada akhir periode tiga tahun atau menerima ganti atas simpanannya kapan pun dalam periode tiga tahun tersebut. Estimasi beban perjanjian pembayaran berbasis saham itu sebesar Rp3.600.000 per tahun untuk masing-masing dari 3 tahun tersebut.

Pada bulan April 20X2, CFO itu berhenti membayar kontribusi untuk program tersebut dan mengambil pengganti kontribusi sebesar Rp 15.000.000 yang telah dibayarkan selama 15 bulan terakhir.

Dalam contoh ini, persyaratan membayar kontribusi untuk program itu merupakan syarat nonvesting. Bila CFO itu memilih untuk tidak melanjutkan membayar kontribusi pada bulan April 20X2, kejadian ini diperlakukan sebagai pembatalan. Ayat jurnalnya adalah sebagai berikut.

31 Desember 20X1
Biaya kepegawaian 120.000.000
     Kas                                  108.000.000
     Tunggakan gaji               12.000.000
(Gaji CFO untuk 12 bulan)

Dr. Biaya kepegawaian                   3.600.000
        Cadangan modal – Kepemilikan Saham Karyawan (KSK) 3.600.000
(KSK untuk CFO)

1 April 20X2
Biaya kepegawaian 30.000.000
       Kas                                       27.000.000
       Tunggakan gaji                     3.000.000
(Gaji CFO untuk 3 bulan)

Tunggakan gaji         15.000.000
       Kas                                         15.000.000
(menghapuskan liabilitas)

Biaya kepegawaian              7.200.000
      Cadangan modal – KSK                7.200.000
(pembatalan program)


saya rasa cukup sekian tentang pembahasan PSAK 53, kalau mau diskusi tentang PSAK 53 silahkan komentar pada kolom komentar. Dan terakhit karena PSAK selalu ada revisi, tolong ingatkan saya kalau seandainya PSAK ini telah direvisi sehingga artikel ini bisa direvisi kembali.